BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kesehatan adalah
merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam menciptakan keluarga
sejahtera. Jutaan anak dinegara yang sedang berkembang menunjukkan
kecenderungan bahwa pertumbuhan dan berkembangnya dalam keadaan terlantar,
artinya lingkungan rumah dan sekolah yang tidak memenuhi syarat antara lain
gizi tidak tercukupi, perhatian orang tua yang kurang dan pelayanan kesehatan
yang belum maksimal karena mahalnya pelayanan jasa kesehatan. Sehingga akan
mengakibatkan derajat kesehatan menjadi rendah serta kemungkinan terjadi
penularan penyakit yang berhubungan dengan lingkungan kurang sehat
Asma adalah
sering juga di sebabkan oleh adanya peradangan alat pernapasan yang cara
penyebabnya belum sepenuhnya di ketahui penyaluran penyakit ini cenderung
progresif artinya makin lama makin berat dengan diselingi masa-masa tenang dan
kumat,kecuali bila dilakukan pengelolaan sebaik-baiknya sejak awal penyakit timbul.(Gouzali
Saydam, 2011:6-7).
1.
|
Indonesia yang
beberapa puluh tahun lalu adalah negara agraris, saat ini sudah menjadi negara industri.penduduk
yang biasanya bekerja di daerah agraria (pertanian) di udara terbuka dan segar, kini mereka mulai
bekerja di pabrik-pabrik industri-industri, di ruangan tertutup yang banyak
polusi udaranhya.sebagian penduduk lain harus hidup di daerah-daerah kumuh yang
padat di lorong-lorong yang tidak bersih.
Penderita asma
bronchiale dapat hidup dan bekerja seperti orang lain. Penderita asma di
anjurkan untuk menjadi anggota perkumpulan asma.di bandung ada perkumpulan asma
bandung (PAB) setiap minggu mereka berkumpul untuk senam pernapasan dan latihan
jasmani bersama. Dua bulan sekali di adakan ceramah tentang penyakit asma dan
pada waktu-waktu tertentu di adakan symposium mengenai asma.(Gouzali Saydam,
2011:9).
Posisi fowler
(setengah duduk ) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada lebih
tinggi 450 – 600 dari pada posisi panggul dan kaki. (A.Azis
alimul hidayat,2012:122).
Posisi semi
fowler merupakan posisi yang diberikan pasien dengan tempat tidur menaikkan
bagian kepala dan dada setinggi 300– 450 tanpa fleksi lutut.(Yulia
Suparmi,2010:25).
Asma merupakan
masalah yang terus meningkat, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di Negara-negara maju (Muchid dkk, 2010:67).
Menurut Badan
Kesehatan Dunia,World Health Organization
(WHO,2009) memperkirakan setiap tahun penderita asma bertambah sekitar,10.000
orang. Sekarang jumlah penderita sudah mencapai 100-500 juta penduduk di dunia.
Sementara itu prevalensi asma Internasional bervariasi antara,5-30 % . Sebanyak 300 juta orang di dunia
mengidap asma, dan pada tahun,2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena
gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Sedangkan
pada tahun 2025 penderita asma diperkirakan mencapai 400 juta dan diperkirakan
terdapat,2.55.000 jiwa meninggal karena asma. Jumlah ini dapat meningkat lebih
besar mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Sebagian besar
atau 80 % kematian justru terjadi di Negara-negara berkembang. Jumlah penderita
asma yang meningkati ni disebabkan oleh pengetahuan yang terbatas tentang asma
yang membuat penyakit ini seringkali tidak tertangani dengan baik,(http://d
igilib.umm.ac.id/files/disk1/271/WHO-gdl-s1-2010 lindasetia,135051 Pendahn.pdf),
diakses 1 Maret 2014
Di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari
4,2% menjadi 5,4 % Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah
penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur,(7%),
Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak,(22%), Jakarta Timur
untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009:34).
Asma merupakan
10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Hal itu tergambar dari
data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. SKRT 1998 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab
kesakitan (Morbiditi) bersama bronchitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992,
asma, bronchitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (Mortaliti) ke 4
di Indonesia. Atau sebesar 5,6%. Tahun,1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar,13/1000 dibandingkan bronchitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru,2/1000. Di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta yang merupakan pusat rujukan
nasional penyakit paru di Indonesia jumlah penderita pada tahun 1998 yaitu
rawat inap 43 orang dan rawat jalan 6167 orang. Pada tahun 1999 jumlah
penderita yang rawat inap 138 orang dan rawat jalan 5874 orang. Pada tahun,2000
jumlah penderita rawat inap 60 dan rawat jalan 3162 orang. Pada tahun 2001
jumlah penderita yang rawat inap 104 dan rawat jalan 5878 orang (PDPI, 2009:78-79).
Berdasarkan
hasil surveilans Penyakit Tidak Menular berbasis rumah sakit di Sulawesi
Selatan pada tahun 2008, diperoleh informasi bahwa jumlah penderita asma adalah
7,53%,sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 8,03%. Dan Berdasarkan hasil
surveilans Penyakit Tidak Menular berbasis puskesmas di Sulawesi Selatan pada
tahun 2008, diperoleh informasi bahwa jumlah penderita asma adalah 13,23 %,
sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 14,21% (Dinkes Sulsel, 2010).
Di
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar jumlah penderita asma pada tahun
2012 sebanyak 216 orang dan. Pada tahun 2013 juga mengalami peningkatan
sebanyak 220 orang Dari penjelasan diatas maka hal
inilah yang melatar belakangi peneliti tertarik untuk meneliti “ Study
Perbandingan Pengaruh Posisi Fowler Dan Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak
Napas Pada Pasien Asma Bronchiale Di Ruangan Baji Pamai 1 Dan 2 Di Rumah Sakit
Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
B.
Rumusan
Masalah
1. Adakah
pengaruh antara pemberian posisi fowler terhadap penurunan sesak napas pada
pasien Asma Bronchiale Di Ruangan Baji Pamai 1 Dan 2 di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar.?
2. Adakah
pengaruh antara pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak napas
pada pasien Asma Bronchiale Di Ruangan Baji Pamai 1 Dan 2 di Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar.?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui perbedaan pengaruh antara pemberian posisi fowler dan semi fowler
terhadap penurunan sesak napas pada pasien Asma Bronchiale Di Ruangan Baji
Pamai 1 Dan 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan
Khusus
a. Untuk
mengetahui pengaruh pemberian posisi fowler terhadap penurunan sesak napas pada
pasien Asma Bronchiale di Ruangan Baji Pamai 1 dan 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
b. Untuk
mengetahui pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak napas
pada pasien Asma Bronchiale di Ruangan Baji Pamai 1 dan 2 di Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar.
D.
Manfaat
Penelitians
1. Manfaat
Institusi Pendidikan
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi STIKPER Gunung Sari Makassar selaku
tempat kami menimbang ilmu
2. Manfaat
Instansi Rumah Sakit
Diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai perbandingan pengaruh pemberian posisi
fowler dan semi fowler terhadap penurunan sesak napas pada pasien Asma
Bronchiale, sehingga bahan penelitian ini dapat mengurangi sesak napas dan
angka terjadinya Asma Bronchiale di RSUD Labuang Baji Makassar.
3. Manfaat
Bagi Peneliti
Merupakan
pengalaman yang berharga dalam peningkatan wawasan dalam bidang penelitian
serta menambah pengetahuan tentang manfaat pemberian posisi fowler dan semi
fowler dalam menurunkan sesak napas pada pasien Asma Bronchiale, juga sebagai
bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan keilmiahannya pada
bidang yang sama.
4.
Manfaat Bagi Profesi Keperawatan
Untuk menambah ilmu pengetahuan bagi perawat agar mampu meningkatkan pelayanan dan memberikan perawatan yang tepat bagi pasien
dengan gejala penyakit asma bronchiale sehingga dapat
meminimalkan angka kematian pada pasien
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan bacaan diperpustakaan atau
sumber data bagi peneliti lain yang memerlukan masukan berupa data atau
pengembangan penelitian dengan judul yang sama demi kesempurnaan penelitian
ini.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Tentang Asma Bronchiale
1.
Pengertian
Istilah
asma merupakan salah satu penyakit
saluran nafas yang banyak di jumpai, baik pada anak-anak maupun dewasa.kata
asama (asthama) berasal dari bahasa
yunani yang berarti terengah-engah lebih dari 200 tahun yang lalu,Hippocrates menggunakan istilah asama
untuk menggambarkan kejadian pernafasan yang pendek-pendek (shortness of breath).sejak itu istilah
asama sering di gunakan untuk menggambarkan gangguan apa saja yang terkait
dengan kesulitan bernafas.
(Zullies
Ikawati, 2011:104).
Perubahan patofisologi yang sering terserang adalah bronkus dengan
ukuran 3-5 mm, akan tetapi distribusinya meliputi daerah yang luas. Walupun
asma pada prinsipnya adalah suatu kelainan pada bagian jalan pernapasan, akan
tetapi dapat pula menyebabkan terjadinya gangguan pada bagian fungsional paru.(Tabrani
Rab,2011:383)
8
|
Asma adalah peradangan saluran pernapasan (bronchus), maka semua bentuk asma
berhubungan dengan respon peradangan selaput lendir terhadap zat yang
menyebabkan peradangan tadi. Bisa dari luar tubuh ,maupun dari tubuh sendiri.
Biasanya asma akan sembuh sendiri bahkan bisa pula terjadi,cenderung makin lama
makin berat.
(
Gouzali Saydam, 2011:9).
Menurut Global Initiative For Asthama (GINA)
tahun 2008, asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis pada saluran
pernafasan di mana berbagi sel dan elemen seluler berperan terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, dan sel epithelial. inflamasi kronis ini berhubungan
dengan hipperresponsivitas saluran pernafasan terhadap berbagi stimulus, yang
menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi), kesulitan bernafas, dada terasa
sesak, dan batuk-batuk yang terjadi utamanya pada malam hari atau dini hari.(Zullies
Ikawati, 2011:104-105).
Asma merupakan penyakit yang
manifestasinya sangat bervariasi. Sekelompok pasien mungkin bebas dari serangan
dalam jangka waktu lama dan hanya mengalami gejala jika mereka berolahraga atau
terpapar alergen atau terinfeksi virus pada saluran pernafasanya.
(
Zullies Ikawati, 2011:105).
Asma bronkhiale adalah penyempitan bronkus yang
bersifat reversibel yang terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami
kontaminasi dengan antigen.(Tabrani Rab, 2011:377)
2. Klasifikasi
Asma
Klasifikasi asma berdasarkan
penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik dan non alergik atau campuran (mixed).
a. Asma
alergik ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dan lain-lain. Allergen terbanyak
adalah air (bone) dan musiman (seasonal).
Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada
keluarga dan riwayat pengobatan aksim atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk
asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
b. Idiopatik
atau Non alergik Asma Intrinsik, tidak berhubungan dengan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti infeksi saluran napas atas,
aktivitas, emosi stress dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.
Beberapa agen farmakologis seperti antagonis β-adrenergik dan bahan sulfat
(penyedap makanan) juga dapat menjadi factor penyebab. Serangan dari asma
idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali dengan
berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Pada
beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya
dimulai ketika dewasa,(> 35 tahun).
c. Asma
Campuran (Mixed Asma), merupakan
bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis
asma alergi dan idiopatik atau nonalergi (Somantri,2009:145-146).
3. Anatomi
dan Fisiologi Saluran Pernapasan
Saluran pernafasan terdiri dari : hidung, pharynx,
trachea, bronchus, dan beonchiolus. Saluran nafas ini dilapisi oleh membran
mukosa bersilia. Pada saat udara masuk rongga hidung, maka udara akan disaring,
dihangatkan dan dilembabkan.
Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa
respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel
goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukosa yang disekresi oleh sel
goblet dan kelenjar serosa. Partikel debu kasar dapat disaring dalam rongga
hidung, Sedangkan yang lebih halus terjerat dalam lapisan mukosa.
Selanjutnya udara akan menuju pharynx dan larynx
masuk ke trachea yang bagian ujung bagian bawah bercabang dua yang merupakan
cabang utama bronchus kanan dan kiri. Cabang utama-utama kanan disebut karina
yang mengandung syaraf dan dapat menimbulkan broncho spasme hebat dan batuk
kalau syaraf-syaraf tersebut terangsang. Bronchus kanan lebih pendek dari
bronchus kiri dengan posisi lebih vertikal dengan bentuk dan ukuran yang lebih
besar dari bronchus kiri. Letak anatomis ini mempunyai makna yang penting
dimana tabung endotracheal terletak sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran
udara paten yang sudah masuk dalam cabang utama bronchus kanan kalau udara
tidak tertahan pada mulut atau hidung. Bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang
lagi menjadi segmen bronchus.
Percabangan ini terus menerus sampai cabang terkecil
yang dinamakan bronchiolus terminalis. Oleh karena bronchiolus terminalis tidak
diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga
sudah melaksanakan fungsinya sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas
paru-paru (alveolis) dan sakus alveolaris terminalis, sebagai struktur akhir
paru-paru yang berbentuk buah anggur (Anonim,2010:67-68).
4. Etiologi
Asma yang terjadi pada anak-anak sangat
erat katanya dengan alergi.kuarang lebih 80% pasien asma memiliki riwayat
alergi,asma yang muncul pada dewasa dapat disebabkan oleh berbagai
faktor,seperti: adanya sinusitis, polip
hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat anti-inflamasi non steroid
(AINS), atau mendapatkan picuan di tempat kerja. Di tempat-tempat kerja
tertentu yang banyak terdapat agen-agen yang dapat terhirup seperti debu, bulu
binatang, dan lain-lain, banyak yang di jumpai orang yang menderita asma, yang
disebut occupational asthama, yaitu asma yang disebabkan karena
pekerjaan kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan asma adalah
anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan riwayat asma.
(Zullies
Ikawati, 2011:106).
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan
asma bronchial atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :
a. Allergen
Allergen adalah zat-zat
tertentu yang bila diisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma misalnya
debu rumah, tengau debu rumah (Dermatophagoides
pteronissynus), spora jamur, bulu kucing, beberapa makanan laut dan
sebagainya.
b. Infeksi
saluran pernapasan
Infeksi saluran
pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza merupakan salah satu
faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronchial. Diperkirakan,
dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran pernapasan.
c. Tekanan
jiwa
Tekanan jiwa bukan
penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat tekanan
jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma terutama pada orang yang agak labil
kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak.
d. Olahraga/kegiatan
jasmani yang berat
Sebagian penderita asma
bronkhial akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olahraga atau aktivitas
fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua jenis kegiatan
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (exercise induced asma) (EIA) terjadi
setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan
timbul beberapa jam setelah olahraga.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan
asma bronchial sensitive atau alergi terhadap obat tertentu seperti penisilin,
salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
f. Polusi
udara
Klien asma sangat peka
terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung
hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam.
g. Lingkungan
kerja
Lingkungan kerja
diperkirakan merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan asma
bronchial
(Muttaqin, 2010: 234 ).
5. Manifestasi
klinis
Manifestasi klinik pada pasien asthma adalah batuk,
dyspnea, dan wheezing. Dan pada sebagian
penderita disertai dengan rasa
nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam,
gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu
pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
a. Tingkat
I :
1) Secara
klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
2) Timbul
bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi
bronkial di laboratorium.
b. Tingkat
II :
1) Tanpa
keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya
tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
2) Banyak
dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
c. Tingkat
III :
1) Tanpa
keluhan.
2) Pemeriksaan
fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
3) Penderita
sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali. ( ).
d. Tingkat
IV :
1) Klien
mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
2) Pemeriksaan
fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
e. Tingkat
V :
1) Status
asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang
berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
2) Asma
pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada
asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan,
cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi (Purwondjawa: 2010:15).
6. Patofisiologi
Pada dua dekade
yang lalu penyakit asma di anggap merupakan penyakit yang disebabkan karena
adanya penyempitan bonkus saja,
sehingga terapi utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, Namun para ahli mengemukakan konsep baru yang
kemudian di gunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran nafas, yang di tandai dengan bonkokonstriksi, inflamasi, dan
respon yang berlebihan terhadap rangsangan Selain itu juga terdapat
penghambatan terhadap aliran udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat
penyempitan bronkus.akibatnya terjadi
hiperinflamasi distal, perubahan
mekanisme paru-paru, dan meningkatnya kesulitan bernafas. Selain itu juga
terjadi peningkatan sekresi mukus yang
berlebihan.
Secara klasik, asma di bagi dalam dua kategori berdasar
faktor pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asama intrinsik atau idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang di sebabkan
karena menghirup alegen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki
keluarga dengan riwayat penyakit alergi (baik eksim, utikaria, atau hay
fever). Asma intrinsik mengacu pada asma yang di sebabkan karena
faktor-faktor diluar mekanisme imunitas, dan umunya di jumpai pada orang
dewasa. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma antara lain: udara
dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga. Khususnya asma yang di picu oleh
olahraga di kenal dengan istilah exercise-induced
asthama.
Efek
gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada
dinding bronchioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronchioulus dan spasme otot polos bronchiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronchiolus lebih berkurang selama
ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru
selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronchiolus. Karena bronchiolus
sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat,
tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama
serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel
chest. (Zullies Ikawati,2011:110).
7. Komplikasi
Pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema
subkutis, atelektasis, aspergilosis bronkopulmonar alergik, gagal napas,
bronchitis dan fraktur iga (Mansjoer, 2009:56).
8. Penatalaksanaan
Medis
a. Pengobatan
Nonfarmakologis
1) Penyuluhan. Penyuluhan
ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asma
sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, menggunakan
obat secara benar, dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus. Klien
perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada
lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus,
termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi, dapat
digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus. Ini dapat dilakukan dengan
postural drainase, perkusi dan fibrasi dada. (Iskandar Junaidin, 2009:90)
b. Pengobatan
Farmakologis
1) Agonis beta
: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat,
diberikan sebanyak 3-4 x semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua
adalah 10 menit
2) Metilxantin,
dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 x sehari. Golongan metilxantin adalah
aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak
memberikan hasil yang memuaskan
3) Kortikosteroid.
Jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respons yang baik, harus
diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4 x semprot
tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama harus diawasi dengan ketat
4) Kromolin dan Iprutropioum bromide
(atroven). Kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya
untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum Bromide diberikan 1-2 kapsul 4 x sehari.
(Iskandar Junaidin,
2009:99).
9. Pencegahan
a. Menjauhi
alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari
kelelahan
c. Menghindari
stress psikis
d. Mencegah/mengobati
ISPA sedini mungkin
e. Olahraga renang, senam asma.
B.
Tinjauan
Tentang Variabel Yang Diteliti
1. Tinjauan
Posisi Fowler
a. Pengertian
Posisi
fowler (setengah duduk ) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada
lebih tinggi 450– 600 dari pada posisi panggul dan kaki.
Posisi
fowler merupakan posisi bed (tempat tidur) dimana kepala dan dada dinaikkan
setinggi 450– 600 tanpa dilakukan fleksi lutut(A. Alimul
Hidayat, 2012;25)
Posisi
fowler adalah posisi duduk, dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau
dinaikkan.
Posisi
fowler dengan sandaran memperbaiki curah jantung dan ventilasi serta membantu
elimasi urine dan usus. Kelurusan tubuh yang tepat mempertahankan kenyamanan
dan menurunkan risiko kerusakan system tubuh. Pemberian posisi fowler di tempat
tidur memerlukan persiapan khusus bagi perawat, dimana perawat perlu mengkaji
kesejajaran tubuh dan tingkat kenyamanan pasien. Bila perawat memerlukan
bantuan, harus menyiapkan sejawatnya untuk membantu, perawat juga harus
menginformasikan tindakan kepada pasien serta memberikan privasi pada pasien.
Kewaspadaan
pada posisi fowler beresiko terhadap kontraktur fleksi cervical bila bantal
terlalu tebal. Komplikasi tambahan dapat meliputi rotasi eksternal pinggul,
foot-drop dan kerusakan pada sacrum dan tumit. Pada klien lansia beresiko lebih
besar daripada klien yang lebih mudah terhadap kerusakan kulit karena peningkatan
kerapuhan kapiler, penurunan massa otot dan penurunan kelembaban kulit. (http://di
gilib.umm.Acid/ files/disk,1/271/ asma 2010-),
diakses 5 Maret,2014.
b. Tujuan
Pemberian posisi fowler
memiliki tujuan sebagai berikut :
1) Mempertahankan
kenyamanan
2) Memfasilitasi
fungsi pernapasan
3) Memperbaiki
curah jantung, ventilasi dan membantu eliminasi urin dan usus
4) Untuk
membantu dalam melakukan aktivitas tertentu seperti makan, membaca dan menonton
televisi.
5) Persiapan
alat dan bahan
6) Tempat
tidur
7) Bantal
kecil
8) Gulungan
handuk
9) Bantalan
kaki (footboard)
10) Sarung
tangan (bila diperlukan).
(A. Azis Alimul
Hidayat, 2012:122)
c. Prosedur
kerja
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci
tangan dan menggunakan sarung tangan bila diperlukan,
3) Minta
klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala dinaikkan,
4) Naikkan
kepala bed (tempat tidur) dengan membentuk sudut 450 – 600
sesuai kebutuhan.
5) Letakkan
bantal kecil dibawah punggung pada kurva lumbal, jika celah ada di sana, bantal
akan menyangga kurva lumbal dan mencegah terjadinya fleksi lumbal.
6) Letakkan
bantal kecil dibawah kepala klien, bantal akan menyangga kurva cervical dari
columna vertebra. Sebagai alternative, kepala klien dapat diletakkan diatas
kasur tanpa bantal. Terlalu banyak bantal dibawah kepala akan menyebabkan
fleksi kontraktur dari leher.
7) Letakkan
bantal dibawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit, memberikan landasan yang
lebar, lembut dan fleksibel ; mencegah ketidaknyamanan akibat dari adanya
hiperekstensi lutut, dan tekanan pada tumit.
8) Pastikan
tidak terdapat tekanan pada area popliteal dan lutut dalam keadaan fleksi,
mencegah terjadinya kerusakan pada persyarafan dan dinding vena, Fleksi lutut
membantu supaya klien tidak melorot kebawah.
9) Letakkan
bantal atau gulungan handuk (trochanter
roll) dibawah paha klien, bila ekstremitas bawah pasien mengalami paralisa
atau tidak mampu mengontrol ekstremitas bawah, gunakan gulungan trokhanter
selain tambahan bantal dibawah panggulnya, mencegah hiperekstensi dari lutut
dan oklusi arteri popliteal yang disebabkan oleh tekanan dari berat badan.
Golongan trokhanter mencegah eksternal
rotasi dari pinggul.
10) Topang
telapak kaki dengan menggunakan footboard (bantalan kaki), mencegah plantar
fleksi.
11) Letakkan
bantal untuk menopang kedua lengan dan tangan, jika klien memiliki kelemahan
pada kedua tangan tersebut. Mencegah
dislokasi bahu kebawah karena tarikan gravitasi dari lengan yang tidak
disangga, meningkatkan sirkulasi dengan mencegah pengumpalan darah dalam vena,
menurunkan edema pada lengan dan tangan, mencegah kontraktur fleksi pergelangan
tangan.
12) Lepaskan
sarung tangan dan cuci tangan setelah prosedur dilakukan serta merapikan
pasien.Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan termasuk posisi yang
ditetapkan, kondisi kulit, gerakan sendi, kemampuan pasien membantu bergerak
dan kenyamanan pasien.(A.AzisAlimul Hidayat,2012:122-123).
d. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam pemberian posisi fowler
1) Kasur
pas untuk postur tubuh, tidak terlalu keras / lembut dan dapat menyokong
postural body curvature
2) Menjamin
postur tubuh tetap baik, cegah stress pada otot dan persendian
3) Perubahan
posisi perlu diperhatikan dalam 24 jam
4) Memberi
sokongan pada daerah-daerah yang tertekan
5) Pastikan
dasar tempat tidur bersih, kering dan tidak licin
6) Pastikan
ekstremitas dapat bergerak bebas
7) Usahakan
siku, lutut, panggul sedikit fleksi untuk mempertahankan postur tubuh yang baik
8) Sokongan
terhadap natural curva tubuh yang baik
9) Hindari
penekanan yang berlebihan pada permukaan poplitea, untuk mencegah gangguan pada
nervus dan pembuluh darah disekitar area tersebut
10) Gunakan
bantuan untuk mempertahankan postur tubuh.
(A. Azis Alimul
Hidayat, 2012:122).
2. Tinjauan
Posisi Semi Fowler
a. Pengertian
Posisi
semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat tidur
lebih tinggi atau dinaikkan setinggi 300–450.
Posisi
semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat tidur
lebih tinggi atau dinaikkan.
(Yulia Suparmi, 2010:25).
b. Tujuan
Tujuan pemberian posisi
fowler adalah :
1) Membantu
mengatasi masalah kesulitan pernapsan dan kardiovaskular
2) Membantu
melakukan aktivitas tertentu
3) Memberikan
kenyamanan. (Yulia Suparmi, 2010:24).
c. Persiapan
alat dan bahan
1) Tempat
tidur
2) Bantal
kecil
3) Gulungan
handuk
4) Footboard
(Bantalan kaki)
5) Sarung
tangan (bila diperlukan).
(A. Azis Alimul
Hidayat, 2012:122).
d. Prosedur
kerja
1) Jelaskan
tindakan yang akan dilakukan, mengurangi
kecemasan pasien.
2) Cuci
tangan dan gunakan sarung tangan bila perlu, menurunkan transmisi mikroorganisme.
3) Siapkan
semua alat dan bahan yang dibutuhkan di samping pasien
4) Tinggikan
kepala tempat tidur dengan sudut 300 – 450 sesuai
kebutuhan
5) Topangkan
kepala diatas tempat tidur atau bantal kecil
6) Gunakan
bantal untuk menyokong lengan dan tangan bila pasien tidak dapat mengontrolnya
secara sadar atau tidak dapat menggunakan tangan dan lengan
7) Tempatkan
bantal tipis di punggung bawah
8) Tempatkan
bantal kecil atau gulungan handuk di bawah paha
9) Tempatkan
bantal kecil atau gulungan handuk di bawah pergelangan kaki
10) Tempatkan
papan kaki di dasar telapak kaki pasien
11) Turunkan
tempat tidur
12) Observasi
posisi kesejajaran tubuh, tingkat kenyamanan dan titik potensi tekanan
13) Lepaskan
sarung tangan dan cuci tangan
14) Rapikan
pasien dan bereskan alat-alat
15) Catat
prosedur termasuk : posisi yang ditetapkan, kondisi kulit, gerakan sendi,
kemampuan pasien membantu bergerak dan kenyamanan pasien.(Yulia Suparmi,
2010:25).
e. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam pemberian posisi semi fowler
1) Kasur
pas untuk postur tubuh, tidak terlalu keras lembut dan dapat menyokong postural
body curvature
2) Menjamin
postur tubuh tetap baik, cegah stress pada otot dan persendian
3) Perubahan
posisi perlu diperhatikan dalam 24 jam
4) Memberi
sokongan pada daerah-daerah yang tertekan
5) Pastikan
dasar tempat tidur bersih, kering dan tidak licin
6) Pastikan
ekstremitas dapat bergerak bebas
7) Usahakan
siku, lutut, panggul sedikit fleksi untuk mempertahankan postur tubuh yang baik
8) Sokongan
terhadap natural curva tubuh yang baik Hindari penekanan yang berlebihan pada
permukaan poplitea, untuk mencegah gangguan pada nervus dan pembuluh darah
disekitar area tersebut.(A. Azis Alimul Hidayat, 2012:122-123)..
C.
Kerangka
Konsep
Variabel Independent Variabel
Dependent
Posisi
Fowler
|
Posisi
Semi Fowler
|
Penurunan
Sesak Napas Pada Pasien Asma Bronchial
|
Keterangan
:
= Variabel Independent
=
Variabel Dependent
= Variabel Di Teliti
D. Definisi Operasional dan Kriteria
Objektif
Defenisi operasional variabel yang diteliti adalah :
1.
Pemberian posisi fowler Adalah suatu
tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan atau mengurangi
sesak napas pada pasien asma bronchial, dimana posisi tempat tidur bagian
kepala dan dada dinaikkan setinggi 450–600.(A. Azis
Alimul Hidayat, 2012:54)
Kriteria
objektif
Sesak Napas :
Jika ≥ 3 gejala yang didapatkan
Sesak Napas Menurun : Jika ≤ 2 gejala yang didapatkan
2. Pemberian
posisi semi fowler Adalah suatu tindakan keperawatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk menurunkan atau mengurangi sesak napas pada pasien asma bronchial,
dimana posisi tempat tidur bagian kepala dan dada dinaikkan setinggi 300–
450.(Yulia Suparmi dkk, 2010:46)
Kriteria
objektif
Sesak
Napas : Jika ≥
3 gejala yang didapatkan
Sesak
Napas Menurun :
Jika ≤ 2 gejala yang didapatkan
3. Sesak
Napas Adalah bila ditemukan dua atau lebih tanda sesak napas yaitu: rasa tidak nyaman,
nyeri dada, kesulitan bernapas, berkeringat dingin dan gelisah.
Kriteria objektif :
Sesak Napas :
Jika ≥ 3 gejala yang didapatkan
Sesak Napas Menurun : Jika ≤ 2 gejala yang didapatkan
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis dan Metode
Penelitian
Bentuk
penelitian yang digunakan peneliti adalah eksperimen, dimana peneliti melakukan
kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent kemudian hasil dari tindakan yang telah
dilakukan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dikenakan perlakuan.
Rancangan
eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan One Group Pretest Posttest. Rancangan ini tidak ada
kelompok pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah dilakukan observasi
pertama (Pretest) yang memungkinkan
menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program).
Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut.
01 X
(a) 02
01 X
(b) 02
|
R
(Kel. Eksperimen a)
R
(Kel. Eksperimen b)
Keterangan
:
a : Posisi Fowler
b : Posisi Semi Fowler
01
: Sebelum Pemberian Posisi
02
29
|
Melalui metode
penelitian ini setelah dilakukan uji Statistik (uji Wilcoxon dan uji
Mann-Whitney U) diharapkan dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh
antara pemberian posisi fowler dan semi fowler terhadap penurunan sesak napas
pada pasien Asma Bronchiale
B.
Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas : objek / subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Jadi jumlah populasi pada tahun 2013 sebanyak 220 orang.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
asma bronchiale yang dirawat inap yang berada di bagian interna dan diobservasi
bagi pasien yang mengalami sesak napas.
2. Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang
Penelitian
ini menggunakan Accidental sampling merupakan
metode pengambilan sampel dengan memilih subjek yang kebetulan ada atau
dijumpai pada saat melakukan penelitian
a. Kriteria
Inklusi :
1)
Pasien yang bersedia untuk diteliti
2)
Pasien yang mengalami sesak napas
3)
Pasien yang sadar
4)
Pasien yang rawat inap
b. Kriteria
Eksklusi :
1)
Pasien yang tidak bersedia diteliti
2)
Pasien yang tidak mengalami sesak napas
3)
Pasien yang tidak sadar
4)
Pasien yang rawat jalan
C.
Lokasi
dan Waktu Penelitian
1. Lokasi
Penelitian
Lokasi
penelitian dilaksanakan di ruangan baji
pamai 1 dan 2 di RSUD Labuang Baji Makassar.
2. Waktu
Penelitian
Waktu
penelitian dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Mei tahun 2014
D.
Cara
Pengumpulan Data
Dalam
penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi
eksperimental dengan pemberian posisi fowler dan semi fowler dan disusun dengan
mengacu pada uraian pada definisi operasional variabel penelitian.
E.
Langkah
Pengolahan Data
Pengolahan
data dilakukan secara manual (dengan mengisi lembar observasi pengamatan),
selanjutnya menggunakan bantuan program SPSS versi,16,0 for Windows dengan
urutan sebagai berikut :
1. Editing
Setelah
lembar observasi diisi kemudian dikumpulkan dalam bentuk data, data tersebut dilakukan
pengecekan dan memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data dan memeriksa
keseragaman data.
2. Koding
Untuk
memudahkan pengolahan data, semua data/jawaban disederhanakan dengan memberikan
symbol untuk setiap jawaban.
3. Tabulasi
Data
dikelompokkan ke dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki kemudian
data dianalisa secara statistik.
4. Analisa
Data
a. Univariat
Analisa univariat
dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian yang menghasilkan
distribusi dan presentase dari tiap variabel yang diteliti
b. Bivariat
Untuk melihat pengaruh
dari tiap variabel dengan uji statistic yaitu Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney
U dengan tingkat kemaknaan α =0,05.
F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti
memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan
mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini RSUD Labuang Baji
Makassar. Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya dilakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:
1. Informed Consent
Informasi
bertujuan setelah mendapat informasi secara jelas dan menandatangani formulir
yang disediakan bila subjek menerima untuk dilakukan penelitian dan bila subjek
menolak, peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati haknya, lembar
persetujuan diberikan saat melakukan pengumpulan data.
2. Anonimity
(Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan
indentitas subjek, peneliti tidak akan mengutamakan nama subjek pada lembar
pengumpulan data yang diisi subjek, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode
tertentu
3. Confidentiality (kerahasian)
Kerahasiaan
informasi dari responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok tertentu yang
akan dilaporkan sebagai hasil penelitian
Post a Comment for "Study Perbandingan Pengaruh Posisi Fowler Dan Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Asma Bronchiale "