Literasi Perawat - Seiring perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, beberapa tahun terakhir keluhan perawat dan calon
perawat semakin kencang dibicarakan di jejaring social, di antaranya facebook,
telegram, instagram, twitter dan beberapa jejaring social lainya. Keluhan yang
di sampaikan lewat jejaring social tersebut merupakan bentuk keretekan dalam
dunia keperawatan yang dinikmati begitu saja tanpa sebuah jeda untuk
interupsi dan melihat kembali lalu bertanya. Apakah perjalanan rekam jejak
perawat sudah berjalan sebagaimana mestinya?
Jejak perawat
yang retak mungkin seperti yang disinyalir oleh Antony Diggens sebagai profesi
yang tunggang-langgang. Rekaman jejak-jejak perjalanan karir perawat sering
kita sepelekan dan di anggap lumrah dan biasa, namun sebenarnya hal
tersebut bukanlah hal yang biasa melainkan memiliki dampak yang sangat hebat.
Ada banyak keretakan yang menjadi keluhan perawat di
Indonesia seperti: Gaji yang rendah, realitas pekerjaan
yang tidak sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab perawat, prosedur Ujian
Kompetensi yang mengutamakan aspek kognitif, dan masih banyak keluhan lainnya
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Gaji Yang Rendah
Perawat masih
dijadikan warga kelas dua dinegeri sendiri dengan bukti masih banyaknya tenaga
perawat yang menjalani tenaga Honorer bahkan tenaga sukarela yang sesuka
mereka menggaji. Silahkan Check fakta ini di Sarana pelayanan kesehatan.
Masih saja menjalani praktek – praktek berbentuk perbudakan modern (modern
slavery) ini jelas melanggar konstitusi, amanat UU No.13 tahun 2003 dan
KepMenakerTrans No.100 tahun 2004 melarang untuk melakukan tindakan
kontrak/honor atau bahkan PHL ( Pekerja Harian Lepas ). Praktek-praktek ini
masih banyak menimpa para perawat Indonesia karena lemahnya posisi tawar (bargaining
position).
Harga diri
perawat kian hari kian terabaikan tanpa pengakuan, perawat bekerja secara
terus-menerus 24 Jam dengan 2-3 Shift dengan segala resiko yang mengancam
tertular penyakit bahkan ancaman kematian, norma-norma kesehatan dan keselamatan
kerja ( UU 13/2003 pasal 85/86 ) harusnya dijalankan oleh pemerintah melalui
instansi-instansi yang mempekerjakan perawat hal ini diperparah lagi dengan
system jaminan social yang tidak pernah merata, antara resiko kerja dan
pendapatan tidak berimbang.
Berapa banyak
kasus-kasus yan menyangkut kesejahteraan perawat di Rumah Sakit, ibarat
fenomena gunung es, yang menyoalkan masalah kesejahteraan, Perbandingan
perawat Indonesia dengan perawat Kuwait yang mendapat gaji berkisar antara
Rp.15 juta s/d 20 juta perbulan, sedangkan rekan sejawat yang bekerja di
Indonesia maksimum hanya Rp.500.000 s/d 1,3 juta / bulan bahkan ada tenaga
pengabdi yg dibayar 500.000/ 3 bulan berarti perhari perawat digaji 500 rupiah
saja, mengapa kita para perawat Indonesia diam ?? ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut harus ada upaya kuat dan sama-sama kita perjuangkan dengan
beberapa cara diantaranya dengan menggulirkan Upah Minimum sector Provinsi (
UMSP ) dibidang keperawatan, UU Ketenangakerjaan nomor 13 tahun 2003 telah
mengamanatkan bahwa upah minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak
(KHL).
Jika kita ingat
kembali memori lama kita tentang peristiwa bencana alam / korban masal yang
silih berganti menimpa bangsa kita justru tenaga Perawatlah yang dijadikan ujung
tombak dalam garda medis bencana alam, berapa juta kasus yang sudah perawat
tangani hinggi kini tak pernah dilihat oleh pemerintah namun mereka rasakan.
Realitas Pekerjaan
Yang Tidak Sesuai Dengan Fungsi Dan Tanggung Jawab Perawat
Bekerja
dalam satu tim yang solid memang tidak mudah. Dibutuhkan kemampuan untuk saling
menjaga komitmen bersama, saling menghargai, saling mempercayai dan kesabaran
untuk tidak menyerang yang lain. Apapun yang terjadi dalam tim tersebut adalah
tanggung jawab bersama. Bekerja sama dan sama-sama bekerja sangat dibutuhkan
demi kesuksesan meraih tujuan tim tersebut. Perawat sebagai salah satu anggota
tim kesehatan juga dituntut untuk bisa bekerja sama dengan anggota tim
kesehatan yang lain, sehingga kerja sama dalam tim bisa selaras, serasi dan
seimbang. Namun tuntutan terhadap perawat tersebut belum selaras dengan tugas,
fungsi dan tanggung jawab perawat. Realitas yang terjadi baik di Rumah sakit,
puskesmas, klinik dan beberapa instansi yang lain perawat mengambil alih pekerjaan
dari sebagian tim medis yang lainnya sehingga tugas dan fungsi perawat bukan
lagi memberikan pelayanan dan perawatan melainkan ada juga yang memberikan obat
dan beberapa tindakan medis lainnya yang di anggap bukan kewenangan perawat.
Perawat
sebagai salah satu anggota tim kesehatan juga dituntut untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan tugas dan fungsinya seperti yang di terapkan dalam
Undang-undang Keperawatan. Sebagai seorang perawat jangan pernah merasa yang
paling dibutuhkan karena hal tersebut dapat menimbulkan sifat arogan.
Bekerjalah dengan mengerahkan kemampuan yang terbaik. Jangan pernah merasa
minder karena hal tersebut dapat membuat rasa tidak percaya diri dan terjadi
ketimpangan dalam bekerja. Ketimpangan tersebut bisa terjadi karena kita hanya
bekerja bila disuruh, tidak ada inisiatif dan akhirnya bisa menimbulkan
lambannya penyelesaian suatu masalah. Tingkatkan kreatifitas, inisiatif,
hindari rasa minder, arogan dan mau menang sendiri. Tingkatkan keilmuan,
keahlian dan wawasan. Tampillah percaya diri namun jangan menyombongkan diri,
Bekerjalah dengan kemampuan terbaik tapi jangan merasa yang terbaik.
Prosedur Ujian
Kompetensi Yang Mengutamakan Aspek Kognitif
Profesi perawat
telah sampai kepada sebuah kondisi stagnasi yang berkepanjangan pasca di
keluarkannya STR dengan prosedur pelaksanaan Ujian Kompetensi yang salah.
kejenuhan yang kemudian menjadi realitas perawat yang
gagal lulus di UKOM membuat perawat yang tidak memiliki STR bertahun-tahun menjadi
pengangguran sebab semua instansi kesehatan yang membuka lowongan kerja selalu
di ikut sertakan dengan persyaratan wajib ada STR di sinilaih terjadi degradasi
moral perawat.
Ketika mengacu
pada definisi Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap seorang perawat sesuai jenjangnya dalam melakukan
praktik keperawatan sesuai standar kompetensi dan standar profesi akan tetapi
bagi penulis pribadi bahwa STR bukanlah barometer untuk menilai pontesi
(Kognitif, Afektif, Psikomotorik) yang dimiliki oleh perawat, konsep dan
gagasan logika salah kapra dalam penyelenggaraan Ujian
Kompetensi (UKOM) yang hanya meyuruh untuk
memilih jawaban dari a sampai e mirip konsep ujian anak SD,SMP dan
SMA yang berefek menjadi pengangguran berintelek pada mereka yang tidak lulus
Ujian Kompetensi dan tidak mendapatkan STR.
Untuk apa kuliah
kurang lebih lima tahun (S.Kep,Ners), dan tiga tahun untuk (Diploma
Keperawatan) dan mendapatkan ijazah dengan proses yang cukup lama dan berbagai
macam perjuangan serta usaha tetapi tetap tidak membuahkan hasil hanya
gara-gara Ujian Kompetensi yang hanya 180 menit untuk mengikuti pelaksanaannya
“jauh panggang dari pada api” harus ada perubahan prosedur pelaksanaan Ujian
Kompetensi dari tertulis menjadi praktisi langsung depan pasien di situlah
tolak ukur mana yang memiliki potensi (kognitif,
afektif psikomotorik) dan mana yang tidak, Ujian Kompetensi harus di
benahi dengan segera karena akan sangat menyulitkan jika
standar pelaksanaan Ujian kompetensi yang hanya mengutamakan
aspek kognitif sedangkan aspek afektif dan psikomotoriknya dikemanakan?
Penulis:
Iwansyah (CEO Suara Literasi Perawat Indoensia)
Post a Comment for "Jejak Perawat yang Retak, Tak Seperti Yang Dibayangkan"