Oleh: Iwansyah
(Ceo: Suara Literasi Perawat Indonesia)
Jika
mau disebut sebagai sebuah perjalanan maka menulis buat saya adalah upaya untuk
mempertahankan sikap dan meletakkan garis posisi agar bangkit dari keterpurukan
dan melawan ketertindasan dan ketidakadilan yang menjadi keresahan tersendiri
pada dunia keperawatan dewasa ini. Saya dibesarkan pada masa ketidakadilan
dimana aturan yang dibuat menutup ruang calon perawat/perawat hidup dalam
kesejahteraan . Itulah periode dimana keilmuan di ukur dari berapa banyak mata
uang dan bukan dari kemurnian ilmu yang kita miliki. salah satu contoh
pembayaran pelaksanaan Try out dan Ujian kompetensi, pembayaran SKP akreditasi
PPNI, dan beberapa pembayaran lainnya. Belum lagi masalah mallpraktik, gaji
yang rendah dsb, perawat di anak tirikan di negeri sendiri, sungguh ironis
nasib perawat. Dengan melihat problematika
yang di hadapi dalam dunia keperawatan dewasa ini, Apakah kita terus diam dan
tertindas tanpa mau bangkit dan melawan? Menulislah sesuatu yang kamu anggap
penting untuk disampaikan ke public agar public mengetahui bagaimana realitas
perawat yang sebenarnya dan jangan pernah malu untuk menyampaikannya sebab dari
tulisan itulah akan mampu meruntuhkan paradigma sang penguasa di atas
kekuasaanya untuk menindaklanjuti keluhan yang kita sampaikan lewat tulisan.
Menjadi
seorang penulis merupakan posisi yang sering dihujat dan mendapat stigma
(pro/kontra). Tapi, labelisasi itu malah membuat beberapa penulis bangga karena
mampu melakukan aksi dalam bentuk tulisannya. Saya belajar gagasan Kiri (kritis), kemudian
mencoba untuk mengampanyekannya. Saya mulai menulis dengan semangat itu.
Berusaha melakukan pemberontakan dengan menulis. Saya kagum dengan Wiji Thukul,
yang puisinya seperti sebuah pukulan keras. Sekaligus saya kecewa dengan gaya
tulisan intelektual yang tidak jelas posisinya dan tidak provokatif. Saya
kemudian memilih untuk menulis dengan semangat yang mirip puisi Wiji Thukul:
memukul, mengancam dan menyudutkan. Karena bagi saya menulis bukan tamasya
pemikiran tapi pernyataan sikap yang jelas, terang, dan karenanya, berusaha
meraih pengikut.
Titik
pandang seperti itulah yang membuat saya kemudian membuat teks yang menyuarakan
apa yang sebenarnya jadi kemarahan kolektif. Guna mengungkit kesadaran itulah
saya menggunakan media tulis yang dipadati dengan nada-nada perlawanan. Pada
titik tertentu saya ingin membedakan tulisan saya dengan tulisan para penulis lainnya yang terus mengikuti arus
tanpa ada perlawanan.
Saya
menulis biasa di ibaratkan mirip dengan sebuah risalah kitab suci: provokatif,
menghujat yang kafir dan meminta tindakan. Itu sebabnya tulisan-tulisan saya
baik opini maupun buku-buku yang saya tulis tak banyak ngomong teori rumit,
karena sebagai sebuah sikap perlawanan, yang dibutuhkan adalah upaya untuk
meyakinkan dan mempengaruhi sikap pembaca. Itu sebabnya saya hanya menulis
sebagai lambang perlawanan, karena kredonya sangat sesuai: Baca & Lawan.
Bagi
saya pendekatan tulisan yang sifatnya kritis mampu menggerak hati pembaca cocok
untuk melihat situasi sosial yang terjadi pada dunia keperawatan. Fakta paling
menyolok adalah kesenjangan dan eksploitasi. Saya memang bukan pembaca Karl
Marx yang baik. Sekaligus saya juga bukan pembaca kitab suci yang tekun. Tapi
bagi saya, Karl Marx dan nabi itu punya kesamaan tunggal: melawan segala jenis
eksploitasi dan ingin menciptakan tata dunia yang lebih adil. Komitmen dan
sederhana. Tak usah terlalu jauh mengambil contoh: saya mendengar dan melihat
seorang wali kota berjanji untuk
meningkatkan kesejahteraan perawat dengan berjanji menaikan gaji perawat, Muka
para penjabat ini dengan pesan mau berjanji untuk menaikkan gaji perawat.
Sebuah pernyataan yang tidak akan pernah mereka realisasikan. Sikap itulah yang
bagi saya tak bisa dianalisis dengan pendekatan apapun, kecuali apa yang
dinamai Marx sebagai eksploitasi. Tidak saja melalui pemerasan ekonomi tapi
juga dirampoknya akal sehat kita. Cara pandang itulah yang kemudian jadi dasar
seluruh tulisan-tulisan saya: memprovokasi kesadaran atas penindasan dan
menetapkan siapa sebenarnya para penindas itu.
Saya
berharap budaya menulis kita tidak terpancung dalam gaya yang dingin, tanpa
emosi dan mengambil jarak. Upaya saya ini sekedar mengembalikan makna pamflet
dalam sebuah tulisan. Dalam bahasa pamflet, sebuah kenyataan itu tidak sekedar
diterangkan tapi juga didorong untuk diubah. Terlampau banyak fakta sosial saat
ini yang dikomunikasikan dengan bahasa tipuan. Situasi itu yang ingin saya
pecah dengan tulisan yang lebih terlibat, menghidupkan kembali korban dan
memprovokasi bagaimana penindasan itu terjadi. Saya hanya ingin bagaimana
pengetahuan itu membekali kita untuk memiliki keberanian mengubah, bukan untuk
memahami semata.
Terlebih
dalam situasi dunia keperawatan yang di deskriminasi seperti saat ini, rasanya
tanggung jawab intelektual tidak hanya sekedar memberi inspirasi atau
menyuntikkan gagasan baru, tapi juga terlibat langsung dalam konfrontasi dengan
rezim yang busuk.
Saya
hanya sekedar menantang kita semua untuk meyakini bahwa situasi tidak adil ini
tidak hanya bisa diamati apalagi dipecahkan dengan cara normal; melainkan butuh
imajinasi baru yang mempertaruhkan segala keyakinan yang kita punya. Sudah
waktunya apa yang dirasakan oleh calon perawat/perawat itu kita suarakan dalam
bahasa yang lugas, jelas dan meyakinkan. Sehingga sebuah realitas itu memiliki
kaitan historis dengan subyek yang hendak mengubahnya. Realitas tak pernah
berdiri sendiri sebagaimana dipahami oleh para pemalsu pengetahuan. Tiap
realitas menyajikan situasi yang terang: penindasan, eksploitasi dan
perlawanan.
Menulis
sudah menjadi candu bagi saya. Buku karya yang saya terbitkan adalah buku
mengenai Saatnya Perawat Bangkit dan sekarang lagi menyusun buku Jejak Perawat
yang Retak, agar bangkit kembali
menyatakan sikap. Ini rekaman pengalaman saya selama menjadi mahasiswa dan
menjadi jurnalis di salah satu media cetak di Makassar. Singkatnya, buku ini,
berisi kemarahan demi kemarahan sebagai bahan pidato massa.
Saya
tetap meyakini bahwa menulis adalah cara saya untuk tetap sadar dan punya akal
sehat di tengah ketidakadilah yang dirasakan dalam dunia keperawatan yang sudah
kehilangan segalanya. Dalam bahasa sederhana, menulis adalah cara paling aman
untuk meneguhkan keberanian dan posisi. Itu sebabnya sampai sekarang saya masih
bertahan untuk tetap menulis.
Post a Comment for "Mata Pena Berkaliber, Tanda Perlawanan Perawat"