“Aku baru sadar, betapa hidup sesudah kuliah sebenarnya adalah kampus kehidupan yang sebenarnya. Lebih luas, lebih kompleks dan lebih susah ketimbang ujian Ukom.
Kampus kami, di kota Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), 97.5% lolos Ukom. Sebuah gambaran bahwa pada dasarnya kalau hanya untuk dapat STR, itu persoalan yang mudah. Hanya ikut bimbingan 1 bulan, 4 kali pertemuan, nyatanya dari dua kelas yang ada, 80 mahasiswa, hanya 1 orang yang gagal Ukom.
Sesudah wisuda, hanya 1 orang yang berani ke Jakarta untuk mengadu nasib. Menantang hidup yang lebih keras. Dan aku sendiri sedang mempersiapkan untuk kerja di luar negeri. Aku ikut pelatihan pembekalan serta mempertajam bahasa Inggris. Sedangkan sisanya, tinggal di Sulawesi Tenggara, padahal, lapangan kerja susah. Kerja di Puskesmas tidak dibayar. Kerja di rumah sakit mendapat upa ala kadarnya.
Kenyataan ini kontradiktif dengan gembar-gembor aktivitas kehidupan kampus dan prestasi hanya karena sudah lolos Ukom.
Kenyataan ini jarang disadari oleh rekan-rekan. Bukan hanya kami yang di Sultra. Bahkan di banyak bagian lain di Indonesia. Tetapi apa yang bisa aku lalukan sebagai rakyat kecil? Tidak mungkin aku hanya berharap dan menunggu berubah nasib, tanpa melangkahkan kaki.
Saat jalan-jalan di Malang, secara infrastruktur, aku iri. Padahal, sebenarnya Sultra jauh lebih kaya ketimbang kota Malang. Namun yang aku prihatinkan adalah nasib generasi seusiaku, termasuk di profesi nursing ini. Contoh lain yang bisa aku sebutkan secara spesifik adalah kemampuan berbahasa Inggris teman-teman.
Benar, bahasa Inggris bukan segala-galanya. Kalau kerja di pelosok Sultra, mungkin tidak butuh. Itulah prinsip yang rata-rata tertanam dalam fikiran kami. Namun sampai kapan? Bukankah zaman makin maju dan komunikasi makin tak terbendung.
Sekarang mungkin tidak butuh, namun suatu saat nanti, ketika dibutuhkan, kita bakal gelagapan. Segelagapan saat tidak menyangka bahwa di RS Universitas Indonesia 1 tahun silam tidak pernah ada dan tidak pernah mensyaratkan perawat yang kerja untuk bisa berbahasa Inggris. Akan tetapi, kini, bahasa Inggris kemudian menjadi syarat masuk untuk menjadi karyawannya.
Teman-teman banyak yang tidak peduli, apakah nanti akan jadi PNS atau tidak. Yang penting show. Yang penting tampil. Tidak peduli apakah kompetensinya menanjak atau tidak.
Di tempat kami, seminar jadi barang langka. Tidak laku dan ada peminat. Itu bukan berarti tidak mampu membayar karcis seminar. Gaya hidup teman-teman yang rata-rata punya motor, gadget keren, pakaian bagus, itu sebagai bukti kita lebih suka yang gamour. Mereka bisa beli barang yang harganya jutaan, tapi enggan membayar seminar yang hanya Rp 75 ribu, dengan alasan tidak mampu.
Ternyata kami tidak sendiri…..
Di medsos ini yang teman-teman banyak mendengungkan keluhan. Ratusan bahkan ribuan peluang kerja, termasuk yang ke luar negeri hanya direspon oleh sebagian kecil oleh perawat generasi muda kita dengan alasan tidak diijinkan orangtua, jauh atau tidak punya dana hingga alasan bahasa Inggris. Padahal aslinya, yang dari NTT kuliah di Jawa, yang dari Sumatera bertebaran di Jawa juga. Biayanya mencapai puluhan hingga ratusan juta dan mereka mampu.
Jika ini tidak kita sebut sebagai ketidak-pedulian terhadap masa depan profesi, lantas apa sebutan yang tepat terhadap generasi ini?
Aku tahu, kerja di luar negeri juga bukan satu-satunya jalan. Banyak jalan lainnya. Hanya saja, jika jalan lain tersebut sulit, mengapa kita tetap memaksakan kehendak? Sementara kita tahu, untuk mendesak Pemerintah memperbaikinya, lebih susah ketimbang mengubah cara pandang diri sendiri.
By the way, harga BBM Pertelite naik lagi ya?
Memang, tidak ada hubungan kenaikan BBM yang sudah kesekian kali dalam setahun terakhir dengan profesi ini. Namun jika aku sebagai pribadi tidak menaikkan kompetensi melalui bahasa misalnya, aku tidak bakal mampu membeli Pertelite yang mungkin masih akan naik lagi, di masa mendatang.”
Malang, 25 March 2018
Seperti yang dikisahkan Asrul kepada:
SYAIFOEL HARDY
WA 081336691813
Post a Comment for "Generasi Muda Nursing Tak Peduli"