SLPI - Beberapa hari yang lalu kita diberi kejutan oleh pemerintah dengan terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, kita singkat KTKI. Tentunya rancangan perpres tersebut merupakan usul dari kementerian kesehatan yang membidangi tentang kesehatan. Perpres yang ditandatangani oleh presiden tanggal 14 September 2017 itu menyebutkan bahwa KTKI merupakan lembaga yang melaksanakan tugas secara independen yang terdiri atas masing-masing konsil tenaga kesehatan. KOnsil-konsil tenaga kesehatan yang berada dibawah naungan KTKI ada 3 yakni : Konsil Keperawatan, Konsil Kefarmasian, dan Konsil Gabungan Tenaga Kesehatan. Dari ketiga konsil tersebut yang terbilang baru adalah Konsil Keperawatan (KK) dan Konsil Gabungan Tenaga Kesehatan, sedangkan Konsil Kefarmasian sudah berdiri sebelum adanya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Konsil Keperawatan merupakan amanah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Konsil Gabungan Tenaga Kesehatan merupakan konsil yang akan mewadahi beberapa jenis tenaga kesehatan yang saat ini tergabung dalam Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan belum memiliki konsil sendiri.
Apakah KTKI merupakan MTKI jilid II? Dibilang iya, tidak juga karena di MTKI tidak mengenal istilah konsil dan tugasnya selama ini hanya melakukan registrasi semua jenis tenaga kesehatan yang tergabung di dalamnya, sedangkan dalam konsep KTKI di dalamnya terdapat beberapa konsil tenaga kesehatan yang fungsinya sangat luas, tidak sekedar melakukan registrasi. Dibilang tidak, tapi secara keorganisasian memang mirip. STR yang dikeluarkan oleh MTKI saat ini pada kop nya tertulis MTKI dan pejabat yang menandatangani atas nama MTKI, sehingga hal ini seolah-olah tidak menunjukkan independensi dan kemandirian profesi perawat untuk mengatur profesinya sendiri seperti perawat-perawat di luar negeri yang memiliki konsil keperawatan sendiri.. Tapi mau gimana lagi, memang kenyataannya selama ini belum ada Konsil Keperawatan, jadi sementara mengikuti regulasi yang sudah ada. Dengan dibentuknya Konsil Keperawatan walaupun tergabung dalam KTKI, harapannya kelak STR Perawat kop atasnya tertulis Konsil Keperawatan dan pejabat yang menandatangani juga ketua Konsil Keperawatan, bukan ketua KTKI. Itu harapannya, kenyataannya seperti apa kita tunggu saja.
Jika diperlukan, menteri kesehatan dapat membentuk konsil tersendiri di lingkungan KTKI bagi jenis tenaga kesehatan tertentu jika ada regulasi baru dan dirasa memang dibutuhkan konsil tersendiri. Konsil yang barangkali akan dibentuk dalam waktu dekat adalah Konsil Kebidanan, menunggu disahkannya dulu Undang-Undang Kebidanan yang saat ini sudah masuk program legislasi nasional DPR periode 2014-2019. Selain itu juga pertimbangan banyaknya jumlahnya bidan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, maka pembentukan Konsil Kebidanan merupakan suatu keniscayaan.
Kembali ke Konsil Keperawatan, kita singkat (KK), selama ini kalangan perawat dengan dimotori oleh organisasi profesi PPNI selalu melakukan komunikasi dengan kementerian kesehatan, lobi anggota DPR, DPD semua didatangi demi memperjuangkan terbentuknya Konsil Keperawatan yang independen yang merupakan amanah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Akhirnya perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan terbitnya Perpres RI Nomor 90 Tahun 2017. Jika kita mengikuti fanpage facebook PPNI, beberapa minggu sebelum perpres tersebut ditandatangani presiden, pihak kementerian kesehatan pernah memaparkan konsep atau rancangan perpres tersebut ke DPP PPNI.
Sejak diunggah pertama kali foto halaman depan perpres ini ke laman facebook grup Suara Perawat (Super) tanggal 21 September 2017, banyak sekali komentar dan tanggapan dari para netizen, diantara mereka ada yang optimis, pesimis, mendukung, dan ada pula yang datar-datar saja. Yang dikhawatirkan dari konsep KK yang tergabung dalam KTKI ini adalah nantinya KK menjadi tidak independen. Kehawatiran tersebut wajar saja, karena selama ini kita punya asumsi bahwa KK adalah suatu lembaga independen yang berdiri sendiri dan menjadi lembaga nonstruktural dibawah presiden langsung seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Tapi jika kita jeli untuk membaca isi Perpres 90/2017 tersebut, keberadaan KTKI ‘hanya’ sebagai koordinator yang bertugas memfasilitasi, mengevaluasi, membina, mengawasi, dan mengatur anggaran untuk masing-masing konsil yang dinaunginya. Sedangkan yang berkaitan dengan fungsi dan tugasnya, masing-masing konsil tenaga kesehatan dibawah KTKI bekerja secara independen, hal ini ditegaskan dalam Perpres 90/2017 pasal 8 (7) : “Konsil masing-masing tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat independen”. Dalam Undang-Undang Keperawatan 38/2014 sendiri pada Pasal 42 ditetapkan bahwa posisi KK tidak berdiri sendiri, akan tetapi tergabung dalam KTKI. Begitu pula dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan 36/2014 disebutkan bahwa semua konsil tenaga kesehatan tergabung dalam KTKI. Amanat UUK dan UU Nakes tentang KK dan KTKI memiliki kesamaan karena proses pembahasan UUK dan UU Nakes pada waktu itu dilakukan bersamaan sehingga oleh pemerintah dan DPR disepakati bahwa konten UUK harus bersinergi dengan UU Nakes, tidak boleh bertentangan. Sehingga bisa disimpulkan, dari ketiga peraturan tersebut yakni Perpres 90/2017, UU Keperawatan 38/2014, dan UU Nakes 36/2014 sama-sama mengamanatkan bahwa KK tergabung dalam KTKI. Sekali lagi mohon dipahami, istilah yang dipakai adalah ‘tergabung dalam KTKI’, bukan ‘dibawah KTKI’.
UU Nakes 36/2017 mengamanatkan semua konsil tenaga kesehatan termasuk KKI tergabung dalam KTKI, akan tetapi dalam prosesnya KKI menolak untuk tergabung dalam KTKI. Mengapa KKI menolak tergabung dalam KTKI dan melenceng dari amanat UU Nakes? Sejauh yang penulis tahu, awalnya kementerian kesehatan berniat akan memasukkan KKI ke dalam KTKI, akan tetapi hal itu mendapat penolakan dari KKI dan intern organisasi IDI, bahkan KKI/IDI sampai melakukan uji materi UU Nakes ke Mahkamah Konstitusi. Hasil akhir keputusan Mahkamah Konstitusi seperti apa, penulis tidak mengikuti hingga pada akhirnya terbit Perpres 90/2017 yang tidak memasukkan KKI dalam KTKI. Hal tersebut biarlah menjadi urusan kementerian kesehatan dengan KKI/IDI, kita sebaiknya tidak perlu ikut campur, yang penting bagi kita Konsil Keperawatan dibentuk. Itu tujuan utama kita bukan? Kembali ke independensi KK, bisa disimpulkan bahwa KK memiliki otonomi untuk mengatur sendiri profesi perawat, sedangkan hubungan dengan KTKI hanya berkaitan dengan garis koordinasi administrasi secara vertikal bahwa pada dasarnya secara administrasi, KK merupakan suatu peralatan negara.
Fokus ke fungsi dan tugas KK, dalam Perpres 90/2017 dijelaskan fungsi KK adalah pengaturan, penetapan, dan pembinaan perawat dalam menjalankan praktik untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai bidang tugasnya. Dalam menjalankan fungsinya, KK memiliki tugas melakukan registrasi perawat, pembinaan perawat, menyusun standar pendidikan tinggi keperawatan, menyusun standar praktik dan standar kompetensi, dan menegakkan disiplin perawat. Kedepan nanti pembuatan STR yang selama ini dilakukan oleh MTKI akan diambilalih oleh KK. Pembinaan perawat, penyusunan standar praktik dan standar kompetensi, penegakan disiplin perawat sebenarnya selama ini sudah dilakukan oleh organisasi PPNI. Di antara beberapa tugas KK di atas, yang menarik menurut penulis yaitu menyusun Standar Pendidikan Perawat Indonesia (SPPI). SPPI sebenarnya juga bukan barang baru, PPNI bersama dengan asosiasi institusi pendidikan keperawatan sudah pernah membuat dan sebagian sudah dilaksanakan. Salah satunya adalah adanya regulasi ujian kompetensi bagi lulusan mahasiswa keperawatan sebagai salah satu syarat diijinkannya melakukan praktik keperawatan, sesuatu yang tidak ada dijaman penulis kuliah dulu awal tahun 2000-an. Selain itu satu wewenang KK yang bisa dibilang benar-benar baru yang mungkin sebelumnya belum pernah dilakukan oleh PPNI, AIPNI, maupun AIPVIKI yaitu memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan keperawatan. Seperti apa caranya, mari dilanjutkan membacanya, hehe…
Jika kita bandingkan dengan profesi dokter yang sudah eksis KKI nya, tugas KK dan KKI sebenarnya ada kesamaan, karena penyusunan UUK pada beberapa bagian juga mengadopsi UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Meniru sesuatu hal yang baik menurut hemat penulis tidak ada salahnya. Salah satu yang menarik terkait dengan penyusunan standar pendidikan dokter, KKI selain memiliki wewenang memberikan pertimbangan pendirian dan penutupan institusi pendidikan dokter, juga memiliki kewenangan menentukan kuota penerimaan mahasiswa kedokteran secara nasional dengan berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi pendidikan tinggi. Jadi semua kampus yang memiliki fakultas atau program studi kedokteran dibatasi penerimaan jumlah mahasiswa barunya, tidak bisa seenaknya menerima mahasiswa sesuka mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga kuantitas dan kualitas lulusan. Kuantitas lulusan perlu dikendalikan karena hal ini berkaitan dengan daya saing, kesempatan kerja, ‘daya tawar’ profesi dokter, dan untuk pemerataan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dokter sehingga tidak terkonsentrasi di daearah-daerah tertentu saja. Menjaga kualitas pendidikan kedokteran pastinya merupakan suatu keharusan karena tugas dokter yang penuh tanggung jawab dan tanggung gugat. Penataan dan penjaminan mutu pendidikan tinggi kedokteran muaranya adalah menghasilkan lulusan dokter yang berkualitas, karena itulah Kemendikbud (sekarang Kemenristekdikti) berdasarkan usulan dari KKI tahun 2013 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 576/E/HK/2013 tentang Kuota Penerimaan Mahasiswa Baru Pada FK/Prodi Kedokteran. Dalam SE tersebut diatur jumlah mahasiswa institusi pendidikan kedokteran didasarkan pada terpenuhinya standar sarana dan prasarana pendidikan, rasio mahasiswa dan dosen maksimal 10:1, dan pertimbangan lain yang mungkin off the record yakni rasio penduduk dan dokter serta pemerataan tenaga dokter. Yang menarik lagi adalah pembatasan penerimaan jumlah mahasiswa kedokteran didasarkan pada akreditasi kampus/program studi dan hasil uji kompetensi, sehingga kampus yang hasil kelulusan uji kompetensi mahasiswanya tinggi akan mendapat jatah kuota mahasiswa baru lebih banyak, sebaliknya kampus yang kelulusan uji kompetensi mahasiswanya rendah akan mendapat jatah kouta mahasiswa lebih sedikit.
Kita sebagai perawat tidak ada salahnya meniru apa yang dilakukan oleh KKI dalam menjaga kuantitas dan kualitas lulusan pendidikan keperawatan. Berapa banyak lulusan perawat tiap tahun? Berapa yang terserap dunia kerja? Berapa jumlah kampus penyelenggara pendidikan keperawatan? Tidak kita pungkiri bahwa jumlah lulusan pendidikan perawat tiap tahun banyak sekali, tidak sedikit yang menjadi pengangguran karena lapangan kerja sudah jenuh, jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan. Akibatnya banyak lulusan yang mau bekerja dengan gaji rendah daripada menganggur karena sulitnya mendapatkan kesempatan kerja. Tapi anehnya animo masyarakat untuk mengkuliahkan anaknya di kampus keperawatan masih tinggi walaupun biayanya lebih mahal dari jurusan lain. Meskipun saat ini sudah ada moratorium pendirian kampus keperawatan, tetap saja jumlah lulusan masih overload karena sudah kadung banyak jumlah kampusnya. Lantas, apakah perlu dikurangi jumlah kampus penyelenggara pendidikan keperawatan? Apakah perlu dibatasi jumlah kuota penerimaaan mahasiswa keperawatan tiap tahunnya? Kedepan para penggede-penggede keperawatan perlu untuk memikirkan hal itu, menengok dari apa yang dilakukan KKI. Akan tetapi yang pasti masalahnya tidak semudah profesi dokter yang jumlah kampusnya tidak banyak. Kita masalahnya lebih kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak yang berkecimpung dalam pendidikan keperawatan. Barangkali seleksi alam melalui uji kompetensi bisa diterapkan untuk mengurangi jumlah lulusan.
Selama ini seolah-olah semua tanggung jawab mulai dari pendidikan, registrasi, dan praktik dibebankan ke PPNI, kedepan nanti akan bagi-bagi tugas dengan Konsil Keperawatan karena regulasinya sudah ada. Kita perlu optimis dengan terbitnya Perpres 90/2017, sesuatu yang kita perjuangkan sudah dikabulkan oleh pemerintah, tinggal tugas kita untuk mengawal supaya regulasi tersebut bisa berjalan dengan baik. Konsil Keperawatan adalah amanat UU Keperawatan yang sudah 3 tahun kita perjuangkan setelah digedoknya UU Keperawatan. Kita berharap semoga orang-orang yang duduk dalam Konsil Keperawatan nanti adalah orang-orang berkualitas yang benar-benar mencintai profesi ini dan karena beratnya tugas Konsil Keperawatan dalam menjaga marwah profesi yang mulia ini. Amin.
WAWAN ARIF
Surabaya, 30 September 2017
Post a Comment for "Urun Rembug Konsil Keperawatan Indonesia"