SLPI - Terkadang kami merasa malu
saat membuka "blog" ini kembali, tetapi biarlah. Kita ambil hal
baiknya saja, kawan. Setahun sudah, sejak tulisan kami yang mengkritisi Problematika
Perawat pertama kali dimuat di blog ini. Tentu kawan-kawan pembaca masih
ingat, kan? HmhHemmm, begitulah adanya. Problematika Profesi Perawat di
Indonesia, Negara kita ini. Menurut kami sih, bukan tidak selesai, tetapi
memang sengaja tidak mau diselesaikan. Kenapa demikian?!
Pertama . . Karena ada kepentingan kaum kapitalis yang sangat besar di profesi kita ini. Hal itu nampak dengan jelas, kawan. Coba saja kawan tanyakan berapa "gaji" buruh di perusahaan-perusahaan swasta yang notabene lulusan SLTA saja. Kemudaian silahkan kawan-kawan bandingkan dengan "gaji" rekan sejawat (perawat) di beberapa Rumah Sakit Swasta. Bagaimana? Tentunya kawan tidak akan menemukan perbedaan yang mencolok, kan? Atau, kawan malah menemukan perbandingan terbalik? Bahwa ternyata "gaji" buruh lulusan SLTA lebih besar dari pada "gaji" rekan sejawat yang lulusan Akademi Keperawatan (D.III) begitukah, kawan?
Kemudian, jika terjadi sedikit saja permasalahan yang dilakukan oleh kawan sejawat di Rumah Sakit tempatnya bekerja, risiko pemberhentian sepihak tentulah jawaban pasti yang akan rekan sejawat terima, tanpa bisa membela diri dan tidak ada sedikitpun pembelaan dari organisasi profesi tempat kita bernaung, yang seharusnya mampu memberikan advokasi kepada kita. Maka komplit lah permasalahan kita, seperti nasi campur di warung makan yang ada dipinggir jalan. Ancamannya jelas, tajam, bagaikan pedang tumpul yang mencabik tubuh. "Kami dapat menggantikan kalian dengan perawat lainnya yang jauh lebih baik, banyak perguruan tinggi yang akan meluluskan mahasiswanya setiap tahun dan siap kami rekrut untuk menggantikan posisi kalian disini (di Rumah Sakit ini)" demikian sebagian ancaman yang mungkin pernah rekan sejawat dengar dari mulut-mulut kotor pengelola Rumah Sakit Swasta tempat rekan bekerja. Atau mungkin, bahkan ancaman yg seperti itu kawan dengar dari senior-senior kita (perawat) yang sudah diberi kedudukan tinggi di Rumah Sakit tempat rekan bekerja.
Hati ku terluka karena melihat ribuan kawan se profesiku (Perawat Indonesia) teraniaya, ditindas dan dijajah. Yang lebih menyakitkan adalah, penganiayaan, penindasan dan penjajahan ini bukan datang dari bangsa lain, bukan pula dari profesi lain. Tetapi hal ini dilakukan oleh rekan se profesi yang aku panggil dengan "Perawat Kanibal".
Aku tidak sedang menghujat, bukan pula ingin menyakiti dengan mengoyak luka busuk yang tak kunjung sembuh. Hanya sekedar merefleksikan diri, coba mengingatkan betapa amanah yang di emban di organisasi profesi kita (PPNI) itu mestinya dapat menjadi pedang yang memenggal perbedaan, memancung ketidak adilan dan mencencang rasa takut untuk melawan penindasan. Bukannya diarahkan kepada rekan se profesi, untuk pasang aksi dan mencari kehormatan dengan seragam dan posisi tertinggi.
Ingatlah di hari dimana semua panca indra akan bersaksi di hadapan Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, di saat itu tidak akan ada lagi kebohongan dan semua akan di pertanggungjawabkan. Kembalilah ke jalan yang benar dan jalankan amanah dengan maksimal.
Atau . . .
Mundur saja dan serahkan kepada rekan lainnya yang berkenan memikul amanah ini dengan cara yang lebih baik ~
Demikianlah, kami hanya bisa berharap. Jangan sampai "perawat" dijadikan objek bisnis belaka. Kaum kapitalisyang menjadi CEO instansi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit Swasta) sudah dengan terang-terangan menistakan "profesi perawat" dengan menyamakan hak-hak kita (perawat) seperti buruh di pabrik. Sementara perawat senior yang mengemban amanah sebagai pengurus organisasi profesi di "PPNI" seakan menjadi centeng-centeng kaum kapitalis (dengan hanya berdiam diri, tanpa sedikitpun berusaha memberikan solusi).
Kedua . . Karena ke-tidak-mampu-an Pemerintah (kementerian kesehatan) dan lembaga legislatif (yang katanya wakil rakyat itu), dalam membuat produk hukum yang baik. Produk hukum yang adil berdasarkan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang tertuang dalam PANCASILA.
Pertama . . Karena ada kepentingan kaum kapitalis yang sangat besar di profesi kita ini. Hal itu nampak dengan jelas, kawan. Coba saja kawan tanyakan berapa "gaji" buruh di perusahaan-perusahaan swasta yang notabene lulusan SLTA saja. Kemudaian silahkan kawan-kawan bandingkan dengan "gaji" rekan sejawat (perawat) di beberapa Rumah Sakit Swasta. Bagaimana? Tentunya kawan tidak akan menemukan perbedaan yang mencolok, kan? Atau, kawan malah menemukan perbandingan terbalik? Bahwa ternyata "gaji" buruh lulusan SLTA lebih besar dari pada "gaji" rekan sejawat yang lulusan Akademi Keperawatan (D.III) begitukah, kawan?
Kemudian, jika terjadi sedikit saja permasalahan yang dilakukan oleh kawan sejawat di Rumah Sakit tempatnya bekerja, risiko pemberhentian sepihak tentulah jawaban pasti yang akan rekan sejawat terima, tanpa bisa membela diri dan tidak ada sedikitpun pembelaan dari organisasi profesi tempat kita bernaung, yang seharusnya mampu memberikan advokasi kepada kita. Maka komplit lah permasalahan kita, seperti nasi campur di warung makan yang ada dipinggir jalan. Ancamannya jelas, tajam, bagaikan pedang tumpul yang mencabik tubuh. "Kami dapat menggantikan kalian dengan perawat lainnya yang jauh lebih baik, banyak perguruan tinggi yang akan meluluskan mahasiswanya setiap tahun dan siap kami rekrut untuk menggantikan posisi kalian disini (di Rumah Sakit ini)" demikian sebagian ancaman yang mungkin pernah rekan sejawat dengar dari mulut-mulut kotor pengelola Rumah Sakit Swasta tempat rekan bekerja. Atau mungkin, bahkan ancaman yg seperti itu kawan dengar dari senior-senior kita (perawat) yang sudah diberi kedudukan tinggi di Rumah Sakit tempat rekan bekerja.
Hati ku terluka karena melihat ribuan kawan se profesiku (Perawat Indonesia) teraniaya, ditindas dan dijajah. Yang lebih menyakitkan adalah, penganiayaan, penindasan dan penjajahan ini bukan datang dari bangsa lain, bukan pula dari profesi lain. Tetapi hal ini dilakukan oleh rekan se profesi yang aku panggil dengan "Perawat Kanibal".
Aku tidak sedang menghujat, bukan pula ingin menyakiti dengan mengoyak luka busuk yang tak kunjung sembuh. Hanya sekedar merefleksikan diri, coba mengingatkan betapa amanah yang di emban di organisasi profesi kita (PPNI) itu mestinya dapat menjadi pedang yang memenggal perbedaan, memancung ketidak adilan dan mencencang rasa takut untuk melawan penindasan. Bukannya diarahkan kepada rekan se profesi, untuk pasang aksi dan mencari kehormatan dengan seragam dan posisi tertinggi.
Ingatlah di hari dimana semua panca indra akan bersaksi di hadapan Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, di saat itu tidak akan ada lagi kebohongan dan semua akan di pertanggungjawabkan. Kembalilah ke jalan yang benar dan jalankan amanah dengan maksimal.
Atau . . .
Mundur saja dan serahkan kepada rekan lainnya yang berkenan memikul amanah ini dengan cara yang lebih baik ~
Demikianlah, kami hanya bisa berharap. Jangan sampai "perawat" dijadikan objek bisnis belaka. Kaum kapitalisyang menjadi CEO instansi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit Swasta) sudah dengan terang-terangan menistakan "profesi perawat" dengan menyamakan hak-hak kita (perawat) seperti buruh di pabrik. Sementara perawat senior yang mengemban amanah sebagai pengurus organisasi profesi di "PPNI" seakan menjadi centeng-centeng kaum kapitalis (dengan hanya berdiam diri, tanpa sedikitpun berusaha memberikan solusi).
Kedua . . Karena ke-tidak-mampu-an Pemerintah (kementerian kesehatan) dan lembaga legislatif (yang katanya wakil rakyat itu), dalam membuat produk hukum yang baik. Produk hukum yang adil berdasarkan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang tertuang dalam PANCASILA.
Masih belum percaya, kawan? Masih mau bukti lebih? Coba kawan jawab, kenapa harus ada undang-undang untuk profesi kesehatan lainnya? Kenapa belum ada undang-undang bagi perawat?
Jika alasannya karena regulasi pendidikan dan tenaga profesional di profesi tersebut sudah lengkap, sudah memadai, sudah mapan, dan paripurna untuk memperoleh payung hukum berupa undang-undang. Bagaimana dengan profesi kesehatan lainnya, yang juga sudah memadai untuk itu? Seperti perawat contohnya. Atau, jika ternyata pemerintah (kementerian kesehatan) dan wakil rakyat kita di Komisi IX DPR RI itu menyatakan profesi tersebut sudah jauh lebih baik dari pada profesi kesehatan lainnya di negara ini. Kenapa tidak dilakukan upaya, agar profesi kesehatan lainnya dapat berdiri sama tegak, dan duduk sama rata dengan profesi tersebut?
Menurut kami, jawaban konkritnya adalah "Bahwa di Negara kita ini, ada oknum dari profesi tertentu yang coba memonopoli upaya kesehatan yang diperuntukkan bagi rakyat". Begitulah kawan!!!
Ketiga . . Karena sangat banyak lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan keperawatan di Negara kita ini yang cenderung menghalang-halangi mahasiswanya untuk beraktivitas seperti aktivis mahasiswa lain. Kami menyebutnya sebagai "penjajahan intelektual".
Hal ini bukan tanpa alasan, tentunya kawan dapat memberikan analisa lebih untuk masalah ini. Tentu saja karena banyak lembaga pendidikan keperawatan yang dikelola oleh pihak swasta. Kaum kapitalis yang juga menjalankan usaha "Rumah Sakit" sebagaimana yang kami sampaikan di analisa pertama tadi. Dengan lahirnya tenaga perawat yang terjajah kemerdekaan jiwanya, mereka tidak akan pernah berani berbicara, walaupun sekedar mempertanyakan hak-hak profesi mereka kepada pengelola Rumah Sakit tempat mereka bekerja.
Kemudian, dengan terhalangnya kebebasan adik-adik mahasiswa keperawatan dalam berorganisasi dan mengikuti kegiatan aktivis mahasiswa lainnya. Maka kesempatan untuk mengembangkan diri dalam berorganisasi akan semakin sulit didapatkan. Dengan demikian, profesi perawat tidak akan mampu memenuhi kebutuhan perkaderan atau sekedar mencari generasi penerus kepemimpinan yang berkualitas di organisasi profesinya.
Hal ini tentu sangat berdampak besar dalam kehidupan profesi perawat. Secara umum, dengan tidak ada-nya pemimpin yang mampu menjalankan roda organisasi dengan baik di organisasi profesi perawat, maka tidak akan ada kesepahaman di tubuh profesi perawat itu sendiri. Dengan demikian, perpecahan akan muncul dari segala sisi. Maka, mereka tidak akan sempat memperhatikan, apa lagi memberikan advokasi maksimal kepada rekan sejawatnya (perawat) yang teraniaya dan dinistakan keberadaannya di instansi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) tempat mereka bekerja. Karena sudah sibuk berebut kekuasaan sebagai pimpinan di organisasi profesinya.
. . .
Demikianlah pandangan umum kami ini, sebelum dan sesudahnya, kami mohon maaf yang tiada terhingga kepada semua pihak, yang mungkin merasa terusik dengan pandangan kami ini. Sungguh, tidak ada niat buruk, kami tidak sedang menghujat individu, lembaga, atau profesi tertentu. Kami hanya coba memberikan pandangan berupa analisa singkat dari pemikiran muda kami.
Sumber:
Perawat Muda Indonesia
Post a Comment for "Problematika Profesi Perawat di Indonesia"