Apa yang anda lakukan manakala aksi turun ke jalan (Demonstrasi)
menuntut keadilan perawat, tak begitu mendapatkan tanggapan dari
pemerintah? Adakah cara lain dalam memperjuangkan aspirasi perawat dan
mahasiswa keperawatan itu?
Kedua pertanyaan itu patut kita ajukan, karena setiap perbuatan yang
sudah kita anggap rutin, biasanya tak memberikan efek apa-apa. Malah
kita terbiasa dengan pola tersebut. Begitu pula dengan pemerintah.
Maraknya aksi yang dilakukan oleh perawat dan mahasiswa keperawatan tak
membuat pengusa menjadi takut lagi dengan kedatangan aksi tersebut.
Bahkan, terkadang para pejabat memandang sebelah mata terhadap segala
bentuk tuntutan yang dilontarkan oleh para aktivis keperawatan. kemudian
gerakan seperti apakah yang mampu meruntuhkan kesadaran pemerintah?
Wer liest, weiβ. Wer schreibt, bleibt, kata peribahasa Jerman. “Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati”
Dalam berbagai lintasan sejarah, dapat disimpulkan bahwa ada dua model umum dalam menyampaikan kritiknya.
Pertama, melalui gerakan aksi turun ke
jalan. Bentuk gerakan ini, mulai dari demonstrasi, mimbar bebas, sampai
pada aksi berbaris massal mendatangi sejumlah instansi yang diperkirakan
dapat menyelesaikan persoalan yang dikeluhkan olah perawat. Nyatanya,
tradisi turun ke jalan kerapkali menjadi pemandangan yang sering kita
jumpai di berbagai media, baik media elektronik maupun cetak. Alih-alih
heroisme perjuangan tanpa pamrih, kesadaran kolektifitas, tetesan darah
dan air mata pun menjadi melekat di jiwa mereka.
Kedua, gerakan intelektual. Gerakan ini
biasanya dilakukan oleh para penggiat literasi keperawatan. Seperti,
Firman Telaumbanua pendiri Group (Suara Perawat), Martony Calvein
Kakomole Kuada (Peduli Perawat Indonesia), Tirta Riawan Owner Indonesian
Health Center (IHC), Anton Wijaya seorang inisiator komper.id, Nugraha Fauzi
(founder dan administrator di Komper.Id), Marintha Violeta (Pegiat
Literasi Soto Babat), Mas Ocha (Salah satu perintis Komper.id), Kang
Sobur Setiaman (Pendiri Ikatan Perawat Indonesia), Syaifoel Hardy
(Pengasuh lembaga pelatihan soft skills yang bernama Indonesian Nursing
Trainers), saya sendiri Iwansyah ( Ceo di Suara Literasi Perawat
Indonesia), Daeng Uya (Pimred Kabar Perawat) dan masih banyak penggiat
literasi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Maka dari itu kita seimbangkan antara gerakan aksi turun ke jalan
dengan gerakan intelektual (menulis). Tak ada cara lain selain itu, maka
bangkit dan angkat penamu sekarang. Pasalnya, media merupakan kekuatan
keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam pemerintahan.
Tengok saja, dalam lintasan sejarah. Setiap pergerakan hampir selalu
memperoleh dukungan dari media massa. Seperti yang di tulis oleh A Muis
di Republika (23/05/1996), Berkat patisipasi aktif pers dan ide-idenya
cepat tersebar di seluruh dunia. Di negara-negara yang sedang berkembang
pun kaum tercerahkan hampir selalu menciptakan konflik sosial,
khususnya dengan lembaga-lembaga kekuasaan yang berfungsi mempertahankan
kemapanan atau tatanan politik lama.
Bila tempo dulu, peranan wartawan yang banyak berperan aktif dalam
melakukan perubahan. Kini, yang mesti penguasai berbagai media massa
bukan para jurnalis, tapi kita (perawat/mahasiswa keperawat) selaku
‘aktor’ pergerakan perkumpulan para penggiat literasi keperawatan. Yaitu
dengan cara menulis di sejumlah kolom, opini, esai, resensi, sastra,
atau puisi setiap media. Sebab tanpa itu, semua cita-cita agung tersebut
dapat didengar oleh penguasa, hingga di kenal oleh khalayak banyak.
Dari situlah kami dari sekelompok penggiat literasi mendirikan komper.id
untuk memotivasi perawat dan mahasiswa keperawatan agar mengangkat pena
memperjuangkan profesi keperawatan yang kita cintai ini dalam bentuk
tulisan.
Tradisi menulis itu, telah banyak dilakukan oleh sejumlah tokoh
sekaliber; Nurcholis Madjid sejak mahasiswa, melalui bingkai
“Pikiran-Pikiran Muda Nurcholis Madjid, Dialog keterbukaan”; Ahmad Wahib
telah mengguncangkan belantika pemikiran melalui “Catatan Harian
(Pergolakan Pemikiran Islam)”; Soe Ho Gie, seorang orator ulung
melakukan perlawanan dengan mengangkat pena lewat “Catatan Seorang
Demonstran”. Lantas, apakah budaya tulis menjadi icon terpenting bagi
pergerakan keperawatan dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik
dan bermanfaat.
Tentu saja, hampir setiap orang agaknya pernah melakaukan corat-coret
entah; pesan, tulis ASKEP, buku status pasien, memo dan buku harian.
Jadi ada berbagai ragam cara dalam menuangkan ide-ide atau gagasan.
Namun, bila kita masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan yang
bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara
membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dengan
membiasakan membikin surat pembaca dan diary. Perbuatan mulia ini,
pernah dikaukan oleh Soe Hok Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan
Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam).
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”
Melalui tulisan, kita bisa memberi pemahaman dan mengubah kesadaran
seseorang. Dengan aksi turun ke jalan, kita memberikan tekanan langsung
pada pihak-pihak yang kita sasar dalam aksi langsung. Dengan tulisan,
kita bisa menyuguhkan sebuah kebenaran ditengah kebusukan-kebusukan
informasi yang semakin berjejal.
Dengan aksi, kita mengkonfirmasi kebenaran yang kita peroleh di
tulisan pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dan akhirnya, hanya dengan
tulisan, kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat selama
ini.”
Dengan demikian, mudah-mudahan dengan adanya model baru ini kita
dapat melanjutkan perjuangan kaum lemah yaitu profesi keperawatan yang
selalu tertindas dan di jadikan anak tiri oleh pemerintah.
Janganlah kami (perawat) terlalu diusik, sebab kesabaran yang
sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami
akan menggunakan senjata itu (pena). Walaupun kami sendiri akan terluka
kerenanya.
Sudah siapkah anda (perawat/mahasiswa keperawatan) untuk menulis?
Penulis: Iwansyah
Post a Comment for "Saatnya Perawat Mengangkat Pena Untuk Menggetarkan Dunia"