SLPI - Dari karyawan level bawah sampai atas, tak ada topik yang
semenarik masalah gaji. Maklumlah, sehebat apapun sistem yang dipilih dan
sebijak apapun kebijakan yang ditempuh, kalau itu menyangkut masalah gaji,
selalu saja berpeluang mengundang suasana panas. Hal ini bermula dari keluhan perawat ruang HIV/AIDS yang mengisahkan gaji
yang mereka terima ibarat “besar pasak daripada tiang”. Dengan beban kerja dan
resiko yang begitu tinggi mereka hanya digaji sebesar 400 ribu perbulan, adilkah sistem penggajian tersebut bagi sebuah profesi yang
mulia?
Dalam suatu diskusi panel yang digelar oleh PSIK FK Unair, salah
satu pembicara menyatakan bahwa profesi merupakan “highly intellectual
specialized services” dan profesi perawat merupakan salah satu gambaran
pernyataan tersebut. Seorang perawat dituntut untuk memiliki highly
intellectual, dalam artian setiap tindakan yang dilakukan perawat memiliki
dasar-dasar ilmiah dan rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Idealnya
seorang perawat memiliki IQ rata-rata atau diatas standar yang berlaku ditambah
dengan EQ dan SQ yang tinggi. Namun apa hendak dikata, dengan gaji yang hanya
cukup membeli nasi bungkus otak kita dituntut untuk bekerja ekstra keras. Bukan
hanya karbohidrat yang diperlukan, tubuh juga memerlukan vitamin dan mineral
dalam jumlah cukup. Akankah performance perawat tetap bagus atau meningkat
dengan suplai makanan yang seadanya? Atau apakah ini termasuk “harga yang harus
dibayar” sebagai salah satu bentuk pengabdian?
Profesi Vs Pengabdian
Sejak tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan
perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum
inilah yang mendasari berdirinya Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1985. Output yang diharapkan adalah
lulusan ners yang memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal
yang baik. Perlahan namun pasti, itulah profesi keperawatan yang sedang
berbenah diri.
Sebagai suatu profesi yang luhur dan mulia, salah satu tujuan
profesi keperawatan adalah melayani dan mengabdi. Seperti ketika Florence
Nightingale merawat orang-orang sakit tanpa mengharapkan balas jasa dari pasien
tersebut. Itulah jiwa atau inti dari ilmu keperawatan. Sampai saat ini
paradigma tersebut sebenarnya tidak mengalami perubahan. Hanya saja, paradigma
masa lalu tersebut perlu direaktualisasikan kembali sehingga sesuai dengan
zaman sekarang ini. Perawat tetaplah bidang pengabdian dan menganggap perawat
sebagai pekerjaan mencari nafkah juga tidak nista.
Keduanya bersintesis dalam apa yang disebut profesi perawat.
Kita tidak perlu memungkiri, ketika kita bergelut dengan suatu profesi maka profesi inilah yang akan kita jadikan tempat mencari nafkah. Indikator profesi perawat dianggap pekerjaan itu bisa kita lihat saat rekrutmen perawat baru, baik honorer maupun PNS. Puluhan bahkan ratusan lamaran dikirimkan. Apa yang mereka cari? Jelas bahwa dalam tahap awal mereka butuh pekerjaan karena selain telah memiliki kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, juga mayoritas mereka mungkin membutuhkan pendapatan untuk menopang hidupnya. Tetapi harus diingat juga, dalam profesi tersebut telah tercakup di dalamnya jiwa untuk mengabdi. Jika memang perawat didesain untuk mengabdi bukan berarti perawat tidak berhak untuk mendapatkan hidup yang layak. Kesejahteraan, itulah yang kini sedang diperjuangkan baik oleh PPNI maupun seluruh insan keperawatan di negara kita. Logikanya, bagaimana perawat bisa mengabdi dengan tenang sementara dapur rumahnya tidak pernah mengepulkan asap? Bagaimana perawat bisa merawat pasien dengan sepenuh hati sedangkan anak-anaknya butuh pakaian dan makanan yang layak?
Kita tidak perlu memungkiri, ketika kita bergelut dengan suatu profesi maka profesi inilah yang akan kita jadikan tempat mencari nafkah. Indikator profesi perawat dianggap pekerjaan itu bisa kita lihat saat rekrutmen perawat baru, baik honorer maupun PNS. Puluhan bahkan ratusan lamaran dikirimkan. Apa yang mereka cari? Jelas bahwa dalam tahap awal mereka butuh pekerjaan karena selain telah memiliki kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, juga mayoritas mereka mungkin membutuhkan pendapatan untuk menopang hidupnya. Tetapi harus diingat juga, dalam profesi tersebut telah tercakup di dalamnya jiwa untuk mengabdi. Jika memang perawat didesain untuk mengabdi bukan berarti perawat tidak berhak untuk mendapatkan hidup yang layak. Kesejahteraan, itulah yang kini sedang diperjuangkan baik oleh PPNI maupun seluruh insan keperawatan di negara kita. Logikanya, bagaimana perawat bisa mengabdi dengan tenang sementara dapur rumahnya tidak pernah mengepulkan asap? Bagaimana perawat bisa merawat pasien dengan sepenuh hati sedangkan anak-anaknya butuh pakaian dan makanan yang layak?
Sebagai sebuah profesi semestinya perawat memperjuangkan kesejahteraan yang yang masih jauh dari harapan. Untuk itulah sebagai wadah perjuangan para perawat, seyogyanya PPNI memasukkan misi kesejahteraan selain misi-misi lainnya.
Misi Kesejahteraan jelas memiliki tujuan agar perawat dapat hidup
sejahtera. Sebab berbicara tentang kesejahteraan perawat tentunya berimplikasi
pada mutu atau kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.
Adalah hampir mustahil mengejar pelayanan prima jika tidak dibarengi dengan
pembicaraan pengimbangan kesejahteraan perawat yang memadai pada masa sekarang
ini.
Menata langkah kedepan
Banyak tantangan berat yang menghimpit profesi kita, baik dari
intern maupun ekstern profesi. Jika dibandingkan dengan sejawat kita yang berada
di ASEAN, kondisi perawat di Indonesia memang terpuruk. Keterpurukan ini
diperparah oleh kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada profesi perawat.
Baru-baru ini para perawat di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe tidak
setuju dan menyatakan sangat kecewa dengan kebijakan Menteri Kesehatan RI yang
hanya memberikan tunjangan kepada para dokter yang bertugas di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (www.acehkita.com).
Pasalnya, Depkes hanya memberikan tunjangan kepada dokter umum dan
dokter spesialis yang bertugas di seluruh wilayah NAD masing-masing sebesar 5
juta dan 7,5 juta. Hal ini sangat ironis sekali mengingat Depkes sebagai stake
holder yang membawahi pelayanan kesehatan seolah-olah melecehkan dan menganggap
rendah profesi perawat. Penulis yakin sejawat kita, para perawat di NAD juga 24
jam memberikan asuhan keperawatan bagi para korban pasca Tsunami. Mereka
bahu-membahu dengan profesi lain untuk mendedikasikan dirinya sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Tak layakkah mereka mendapatkan penghargaan serupa?
Salah satu strategi melangkah ke depan adalah pendidikan
berkesinambungan bagi profesi kita. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang
harus membiayai seluruh proses pemberdayaan profesi keperawatan? Tidak hanya
pendidikan, tetapi juga sosialisasi paradigma baru, pembuatan peraturan,
peningkatan jasa keperawatan, dan sebagainya. Mengharapkan pemerintah untuk
berperan dalam menyiapkan perawat yang memiliki standar global tentunya bagai
pungguk merindukan bulan, apalagi dengan kondisi anggaran negara yang defisit
seperti sekarang. Alternatifnya adalah konsumen pemakai jasa keperawatan.
Inipun tidak bisa mencakup semua konsumen sebab 36 juta warga penduduk miskin
tentunya belum mampu untuk mengaksesnya. Tarif jasa keperawatan yang dinaikkan
pada golongan menengah ke atas diharapkan mampu menjadi alternatif solusi.
Dengan kenaikan tarif jasa keperawatan diharapkan selain sebagai subsidi silang
juga bisa memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan keperawatan.
Di era pemulihan ekonomi dan political will pemerintah yang patut dipertanyakan ini, seharusnya profesi kita lebih mandiri. Dalam artian jangan pernah mengandalkan orang lain ketika menata internal keperawatan. Kedepan, perawat dituntut untuk handal, cepat, akurat dan memiliki mental yang pantang menyerah. Analisis kekuatan dan kelemahan yang tajam disertai dengan penyelesaian yang tepat merupakan langkah yang harus diprioritaskan. Hal ini tidak berarti kita berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan stake holder ataupun profesi lain. Koordinasi, kerjasama serta selalu terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun merupakan hal dasar yang tidak boleh ditinggalkan. Harapan ke depan adalah tidak ada lagi perawat yang mengeluhkan bahwa mereka merasa digaji underpaid atau mereka kerja sampingan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Akhirnya dengan segala keterbatasan sebagai manusia, profesi
keperawatan akan selalu menebar senyum, kesabaran dan karya mulia bagi pasien
dalam keadaan apapun, meskipun terkadang profesi kita terlupakan oleh mereka.
Tetapi percayalah, perjuangan insan keperawatan akan sampai pada suatu masa
dimana kita benar-benar dihargai sebagai sebuah profesi yang profesional,
seperti kata Mariah Carey dalam syair lagunya “There is a miracle when you
believe”.
Penulis: Ferry Efendi
Post a Comment for "Kesejahteraan Perawat Yang Terabaikan"