SEBERKAS CAHAYA DI PANTAI LOSARI


Oleh :
Iwansyah
(Ketua Umum HMI MPO komisariat STIKPER Gunung Sari Makassar)
 
Sore itu seperti hari-hari sebelumnya, Pantai Losari seketika berubah menjadi bioskop terbuka. Ratusan jiwa-jiwa dahaga berebut tempat yang strategis untuk menyaksikan panorama sunset, seolah mereka menganggap hari esok takakan pernah kembali. Di  sisi lain kemegahan alam seperti ingin memamerkan diri pada saat-saat terakhir batara surya meninggalkan mayapada. Cahaya kuning kemerahan laksana menyirami langit yang menudungi sepotong lengkung bumi.
Seoarang gadis yang hanya berteman sekaleng soft drink sejak tadi duduk sendiri di tepi pantai itu, tatapannya yang tajam ke arah kaki langit seakan mengisyaratkan ada sesuatu yang ia cari di sana. Tatkala bola api yang merah membara itu perlahan-lahan bergulir di bibir cakrawala, kegelapan bagai tirai hitam yang lambat laun menutup. Laut pun seperti membisu. Satu dua kali ombak kecil memecah di pantai yang tetap setia menunggu. Sementara langit menghitam gelap, bahkan bulan pun enggan menampakkan diri.
Perahu-perahu nelayan yang tampak di kejauhan seperti noktah-noktah putih di tengah laut yang luas menghitam. Kelap kelip lampu minyak di perahu itu ibarat melukiskan ketidak berdayaan manusia ditengah-tengah kemegahan laut. Sementara di sepanjang pantai, binar lampu-lampu hotel dan café laksana kunang-kunang di kegelapan malam. Berusaha bersaing menebarkan sinar dibawah cahaya bulan yang redup.
Entah berapa lama sudah Dini duduk di tepi pantai itu menikmati kesendiriannya, kegelisahan seperti merayapi pikirannya yang menerawang jauh, keresahan nampak begitu jelas tergambar di garis wajahnya. Konsentrasinya tiba-tiba pecah, angan-angannya lenyap seketika tatkala sebuah tangan dengan lembut mendarat di bahunya.
“Hai Din!” sapa Ardi lembut dari belakang, seraya langsung mengambil posisi duduk tepat di samping kanan Dini.
Dini menoleh pelan untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mengenali suara Ardi.
“Eh, kamu Di?, kirain siapa?!” sahut Dini tenang.
“Lagi ngapain sich?” sahut Ardi berpura-pura tidak tahu.
Ardi tahu betul kebiasaan Dini, kalau sahabat karibnya itu pergi ke laut sendirian hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak menikmati kesendirian pasti Dini punya masalah.
“Eh Din!, kelihatannya kamu kusut sekali malam ini. Ada apa?, kali aja aku bisa bantu.”
“Aku lagi nyari inspirasi” jawab Dini sekenanya sambil melemaskan otot-ototnya.
“Nyari inspirasi sampai sekusut ini?” tukas Ardi sambil mengernyitkan keningnya.
“Kusut, memangnya aku aku pakaian yang belum disetrika?!” Sambar Dini sedikit kesal.
Seperti baru saja disambar petir, Ardi kaget bukan kepalang mendapat pertanyaan judes kayak begitu. Mukanya memerah, ia mulai salah tingkah. Namun Ardi cepat menguasai perasaannya ketika melihat air muka sahabatnya itu sama sekali tidak menampakkan kemarahan.
“Aduh, sorry banget, maksudku bukan seperti itu” jawabArdi membela diri.
“Dini… fungsi seorang sahabat itu, harus mampu menjadi kaca bagi diri kita agar kita dapat melihat cacat dalam paras kita yang selalu kita anggap sempurna, dan keluguan kaca menjamin kejujurannya.” Sambung Ardi dalam usahanya menenangkan sahabatnya itu.
“Kalau kata maaf dariku itu mampu membahagiakanmu, akan kulakukan. Tapi, menurutku kau tidak melakukan kesalahan. Jadi saya pikir tidak ada yang perlu dimaafkan” ujar Dini lembut di barengi sesungging senyuman.
“Ardi!!, aku itu kesini buat nyari inspirasi sebagai referensi untuk menyelesaikan makalah yang sedang aku susun.”
“Kalau kamu ingin berbagi ke aku, boleh nggak aku tahu judul makalahmu itu?” rayu Ardi.
“Kenapa nggak?!, semakin banyak yang peduli semakin ringan dong bebanku.” Cetus Dini manja.
“Makalah itu sebenarnya merupakan tugas mata kuliah agama. Topik yang ingin saya angkat itu tentang Ulil Albab. Lantaran itu saya ingin mengetahui apa definisi dari Ulil Albab, dan landasan dalil-dalil yang mendukungnya?”.
“Kalau itu sih pernah menjadi bahan kajianku. kalau kamu berminat menjadikannya sebagai referensi, saya pikir itu bukan masalah.”
“Coba kamu simak firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Imran, ayat 190 yang artinya : Bahwa sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, begitu pula silih bergantinya antara siang dan malam, menjadi data kajian bagi Ulil Albab. Siapa mereka itu? Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dikala mereka berdiri, duduk, berbaring, seraya merenungkan penciptaan langit dan bumi.
Jadi inilah landasan dalil yang mendukungnya, sekaligus identifikasi mereka yang memadukan zikir dan pikir dalam setiap detik kehidupannya.” Tukas Ardi tegas dan mantap.
“ Saya begitu tertarik atas penjelasanmu, Ar!. Namun apa makna yang tersirat dalam arti mengingat Allah disaat berdiri, duduk dan berbaring?”
“Makna berdiri, duduk dan berbaring mengacu pada kedudukan atau posisi manusia-manusia yang ditempatkan diatas bumi yang berkonotasi ke-ruang-an”.
“Maksud kamu?” sambar dini dengan semangat empat lima andalannya.
“Berdiri menunjukkan kedudukan yang setimbang stabil dalam dimensi vertikal, sekalipun berlari juga menunjukkan dimensi yang sama, namun tidak dalam keadaan normal, jadi cenderung merupakan variasi saja dari berdiri. Duduk merujuk pada kedudukan setimbang stabil dalam dimensi horisontal, sedangkan berbaring menunjukkan kedudukan yang setimbang dalam dimensi kedalaman. Dari ketiga dimensi yang merujuk pada letak kedudukan ini, dikenal dengan sistem koordinat tata ruang. Dalam ilmu-ilmu eksak disebut Ordinat, absis, aplikat. Hal ini sangat mengagumkan sekali, karena sangat sesuai relevansinya dengan alokasi manusia diatas bumi yang berkonotasi ke-ruang-an, sebagaimana yang saya jelaskan tadi, dengan tugas dan perannya sebagai khalifah penata dan pemelihara ruang lingkup tempat mereka tumbuh dan berkembang biak”.
“Kayaknya makin seru aja diskusi kita!. Terus, mengapa manusia yang memperoleh dispensasi sebagai Khalifah diatas bumi ini?”. Sahut Dini seraya membetulkan posisi duduknya.
“Pertanyaan yang sungguh menarik!. Pertanyaan seperti itu di Zaman Azali juga telah ditanyakan oleh Malaikat. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah, Ayat 30 yang artinya: Ketika disampaikan kepada Malaikat bahwa sesungguhnya Aku (Allah) akan menurunkan manusia sebagai Khalifah dimuka bumi, sahut mereka (Malaikat): mengapa Engkau menurunkan manusia yang kelak kerjanya saling bermusuhan antara sesamanya, padahal kami senantiasa tasbih memuji dan memuliakan-Mu. Sahut Allah: Aku mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui”. Jawab Ardi dengan begitu tenang dan dingin, sambil meneguk soft drink yang sedaritadi digenggamnya sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Saya berasumsi bahwa sanggahan Malaikat ini bukan tidak beralasan, karena mereka tahu persis karakteristik tanah sebagai unsur penciptaan manusia. Tahukah engkau bahwa tanah mempunyai tiga komponen dasar sebagai material pembentuknya?. Ketiga komponen itu adalah lempung, pasir dan debu. Diantara ketiganya memiliki karakteristik kohesive dan adhesive, yang berarti bahwa antara unsur-unsur homogen akan saling tarik menarik, sedangkan sebaliknya unsur-unsur yang non homogen akan saling tolak menolak. Diantara ketiganya ada tendensi memisahkan diri dan saling tindih menindih dalam usahanya mendominasi. Disamping itu pula tanah mrupakan sesuatu yang berwujud materi (mempunyai massa), padahal manusia dengan jasad dari unsur tanah ini akan dialokasikan kebumi. Hal ini sangat riskan sekali, mengingat bumi mempunyai sifat menarik segala sesuatu yang memiliki massa yang dikenal dengan istilah gaya grafitasi bumi.
Hal ini berarti bahwa manusia cenderung tetarik oleh dunianya, dan sangat sulit untuk membebaskan diri dari kungkungan ruang lingkup hidupnya ini, karena sedemikian hebat daya pikatnya. Dengan demikian manusia ini lupa bahwa ruang lingkup kehidupannya di dunia hanya bersifat sementara, sedang tanah moyang nan abadi terabaikan atau mungkin terlupakan sama sekali.
Akan tetapi Malaikat tidak menyadari bahwa Sang Pencipta akan meniupkan Ruh-Nya kedalam jasad tanah ini, sekaligus membekali ciptaannya ini dengan fasilitas akal yang merupakan suatu instrumen yang dapat digunakannya untuk mengingat ikrar yang telah dipatrikannya dihadapan Sang Pencipta di Zaman Azali. Selanjutnya kembali pada penjelasan awal tadi, bahwa manusia mampu mengkombinasikan ketiga dimensi dalam ritus peribadatannya kepada sang pencipta, yang sekaligus menggambarkan ritus peribadatan cahaya yang merambat secara tegak lurus, maupun langit, yang mana dalam hal ini dapat dikategorikan dalam dimensi vertikal. Begitu pula gunung, pepohonan dan binatang melata dikategorikan sebagai dimensi horisontal. Sedangkan bumi, air termasuk segala apa yang terdapat didalamnya dikategorikan sebagai dimensi kedalaman atau aplikat.
Dengan demikian manusia telah membuktikan dirinya sebagai duta segenap makhluk dalam ritus peribadatannya secara tiga dimensi. Hal ini memberi arti pula bahwa manusia adalah model (micro cosmos), sedangkan semesta alam beserta isinya adalah prototipe(macro cosmos)”.
Sambil bertepuk tangan dan mencoba untuk memekarkan senyumannya yang termanis sepanjang sejarah zaman Dini berucap setengah teriak “Wonderfull, very very fantastic!!!. Seandainya asumsi kamu ini demikianlah adanya, yang merupakan landasan argumentasi Malaikat. Maka, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa tindakan selanjutnya dari Sang Pencipta untuk mengantisipasi sanggahan para Malaikat ini?”.
“Kalimat terakhir dari ayat yang saya petik tadi, yang artinya: Aku (Allah) mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui, mengisyaratkan arti bahwa segala segala kebijakan baik itu yang telah lalu maupun yang akan datang, merupakan kebenaran yang Absolut. Sekali pun demikian ini jangan ditafsirkan tidak fleksibel atau berkonotasi diktatoris, karena lanjutan ayat berikutnya membuktikan bahwa memang pengetahuan Malaikat mengenai tindak kebijakan Ilahi belum memadai. Ada pun lanjutan ayat itu Surah Al-Baqarah ayat 31-32, yang artinya: Lalu oleh Allah Adam di ajari nama-nama segala sesuatu, kemudian dijadikan bahan ujian bagi para Malaikat, seraya dikatakan: jelaskan tentang nama-nama itu jika kalian memang benar. Sahut para Malaikat: Maha Suci Engkau, kami tidak mengetahui mengenai hal itu, hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai! Adam, sebutkanlah kepada mereka nama-nama itu. Setelah Adam menyebutkan (mengajarkan) nama-nama segala sesuatu itu. Allah kembali berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui apa saja yang tersembunyi dilangit dan dibumi dan Kuketahui juga apa-apa yang kamu lahirkan dan sembunyikan.
Inilah tindak lanjut Allah dalam mengantisipasi sanggahan para Malaikat tersebut, dengan cara mendomonstrasikan kebolehan Adam yang diprotes oleh mereka (Malaikat), berdasarkan nama-nama segala sesuatu”.
“Lalu apa gerangan hakikat nama-nama itu, Ar?”.
“Saya berasumsi bahwa nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam itu mempunyai arti tersirat sebagai Ilmu Pengetahuan. Sebagaimana yang perlu kamu ketahui bahwa Ilmu Pengetahuan itu adalah cahaya (Al Hadits), dengan demikian apa yang diajarkan oleh Allah kepadanya (Adam) itu merupakan hakikat cahaya yang sesungguhnya, karena berasal langsung dari Allah sebagai sumber segala cahaya semesta alam ini (Surah An Nur ayat 35).
Dari sisi lain, Malikat yang diciptakan dari cahaya dituntut untuk menjelaskan hakikat cahaya seutuhnya. Tentu saja para Malaikat ini tidak mungkin mampu menjelaskan hakikat Malaikat (cahaya) secara keseluruhan, karena diantara mereka juga terdapat klasifikasi yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan tugas dan peranannya masing-masing, dan suatu hal yang mustahil yang berkualifikasi agak dibawah melampaui dan menjelaskan yang diatasnya.”
“Dapatkah engkau menjelaskan hal ini dengan bahasa yang tidak terlalu filosofis.” Pinta Dini mencibir. Karena memang ia tidak mampu memahami dan menyerap apa yang barusan diutarakan oleh Ardi.
“Pernakah kau menyaksikan segurat bianglala terlukis diangkasa beberapa saat setelah hujan turun merayapi bumi?, warna warninya begitu indah dilatar belakangi sepotong langit biru, seakan melukiskan dengan puitis pelangi kasih yang sedang merona dihati dua insan yang sedang memadu kasih kala itu. Itulah pelangi yang tersusun sebagai garis lengkung beraneka warna.” Gumam ardi dengan begitu puitisnya, sehingga seketika Dini merasa terbuai, angannya melambung, menerawang jauh kenirwana. Namun, fantasinya lenyap seketika bagai diterbangkan oleh angin laut yang menyapa, membelai rambut mereka dengan lembut tatkala, Ardi melanjutkan penjelasannya yang terkesan begitu intelektualis,justru karena itulah kharisma seorang Ardi selalu terkungkung di benak kawan-kawannya dan tak akan mugkin sirna dihempas oleh sang waktu yang terus melaju dan tak pernah mau berhenti dan peduli dengan sekelilingnya.   
“ Dalam teori penguraian (dispersi) cahaya secara prismatik, maka fenomena alam ini dapat teramati dengan jelas di laboratorium fisika yang ada di kampus”.
“Tepat sekali!” sambar Dini memuji.
“Dalam suatu percobaan pemancaran cahaya putih dari sumbernya, kemudian dilakukan lewat suatu cermin yang terbuat dari gelas (kaca) yang berbentuk prisma, maka pengamat yang berada diseberang sumber pemancar cahaya putih tadi, akan melihat beberapa macam cahaya warna warni seperti pelangi.” Lanjutnya  menjelaskan.
“Bagaimana pendapatmu tentang hal ini?” sela Ardi, balik bertanya.
“Sebenarnya cahaya warna warni itu adalah hasil dispersi cahaya putih melalui prisma tadi. Sesungguhnya cahaya itu putih dari sumbernya, namun karena pengaruh spektrum yang dilaluinya pada prisma tadi, membuatnya terurai menjadi berwarna warni.” Tukas Dini lantang penuh semangat.
“Cerdas!” Ardi balas memuji. “ Nah! Disini membuktikan bahwa tidak mungkin cahaya merah jingga akan melampaui, atau menempati daerah kekuasaan cahaya hijau, karena spektrumnya berbeda.”
Dini mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti dan faham apa yang telah di isyaratkan Ardi lewat penjelasannya. Dengan begitu pula Dini semakin mengagumi sahabatnya yang begitu kharismatik.
“Engkau tak akan pernah tergantikan” gumam Dini dalam hati.
Keheningan yang tercipta sekejap menghadirkan kebisuan diantara mereka. Menyadari hal itu Ardi mencoba untuk mengembalikkan suasana yang beberapa menit yang lalu hilang.
“Semoga asumsi ini mampu menguak tabir yang ada dibenakmu, dan nantinya dapat kamu implementasikan kedalam bentuk untaian kalimat yang terangkai dari penggalan kata demi kata. Namun, perlu saya tekankan ini bukan tafsir sebab kebenaran yang hakiki hanya disisi Allah semata”.
“Thanks for all My best friend, kau telah membantu menyelesaikan masalahku saya begitu puas dengan diskusi ini.”
“Dini!! Aku ingin kau tahu semakin besar masalah yang kita hadapi adalah sesuatu yang paling memberikan kita kesempatan untuk menjadi orang hebat, dengan catatan masalah itu ingin kita hadapi bukan di tinggal pergi. Sebab, sesungguhnya kesulitan itu tidak datang untuk merintangi tetapi ia datang untuk mengarahkan, tergantung sejauh mana kita mampu mengubah tembok-tembok penghalang itu menjadi batu-batu loncatan dalam menjemput masa depan yang lebih baik.”
“Ar!! Sorry yach kayaknya malam sudah begitu larut, aku harus pulang sekarang.”
“OK!! Sampai ketemu besok dikampus.”
Kedua anak remaja itu meninggalkan Pantai Losari. Dini melambaikan tangannya. Ardi membalasnya sambil tersenyum lembut.

YAKUSA
(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi )

Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "SEBERKAS CAHAYA DI PANTAI LOSARI"