Sore itu seperti hari-hari
sebelumnya, Pantai Losari seketika berubah menjadi bioskop terbuka. Ratusan
jiwa-jiwa dahaga berebut tempat yang strategis untuk menyaksikan panorama
sunset, seolah mereka menganggap hari esok takakan pernah kembali. Di sisi lain kemegahan alam seperti ingin
memamerkan diri pada saat-saat terakhir batara surya meninggalkan mayapada.
Cahaya kuning kemerahan laksana menyirami langit yang menudungi sepotong
lengkung bumi.
Seoarang gadis yang hanya berteman sekaleng soft drink sejak tadi
duduk sendiri di tepi pantai itu, tatapannya yang tajam ke arah kaki langit
seakan mengisyaratkan ada sesuatu yang ia cari di sana. Tatkala bola api yang
merah membara itu perlahan-lahan bergulir di bibir cakrawala, kegelapan bagai
tirai hitam yang lambat laun menutup. Laut pun seperti membisu. Satu dua kali
ombak kecil memecah di pantai yang tetap setia menunggu. Sementara langit
menghitam gelap, bahkan bulan pun enggan menampakkan diri.
Perahu-perahu nelayan yang tampak di kejauhan seperti noktah-noktah
putih di tengah laut yang luas menghitam. Kelap kelip lampu minyak di perahu
itu ibarat melukiskan ketidak berdayaan manusia ditengah-tengah kemegahan laut.
Sementara di sepanjang pantai, binar lampu-lampu hotel dan café laksana
kunang-kunang di kegelapan malam. Berusaha bersaing menebarkan sinar dibawah
cahaya bulan yang redup.
Entah berapa lama sudah Dini duduk di tepi pantai itu menikmati
kesendiriannya, kegelisahan seperti merayapi pikirannya yang menerawang jauh,
keresahan nampak begitu jelas tergambar di garis wajahnya. Konsentrasinya
tiba-tiba pecah, angan-angannya lenyap seketika tatkala sebuah tangan dengan
lembut mendarat di bahunya.
“Hai Din!” sapa Ardi lembut dari belakang, seraya langsung mengambil
posisi duduk tepat di samping kanan Dini.
Dini menoleh pelan untuk meyakinkan
dirinya bahwa ia tidak salah mengenali suara Ardi.
“Eh, kamu Di?, kirain siapa?!”
sahut Dini tenang.
“Lagi ngapain sich?” sahut Ardi
berpura-pura tidak tahu.
Ardi tahu betul kebiasaan Dini,
kalau sahabat karibnya itu pergi ke laut sendirian hanya ada dua kemungkinan, kalau
tidak menikmati kesendirian pasti Dini punya masalah.
“Eh Din!, kelihatannya kamu kusut
sekali malam ini. Ada apa?, kali aja aku bisa bantu.”
“Aku lagi nyari inspirasi” jawab
Dini sekenanya sambil melemaskan otot-ototnya.
“Nyari inspirasi sampai sekusut
ini?” tukas Ardi sambil mengernyitkan keningnya.
“Kusut, memangnya aku aku pakaian
yang belum disetrika?!” Sambar Dini sedikit kesal.
Seperti baru saja disambar petir,
Ardi kaget bukan kepalang mendapat pertanyaan judes kayak begitu. Mukanya
memerah, ia mulai salah tingkah. Namun Ardi cepat menguasai perasaannya ketika
melihat air muka sahabatnya itu sama sekali tidak menampakkan kemarahan.
“Aduh, sorry banget, maksudku bukan
seperti itu” jawabArdi membela diri.
“Dini… fungsi seorang sahabat itu,
harus mampu menjadi kaca bagi diri kita agar kita dapat melihat cacat dalam
paras kita yang selalu kita anggap sempurna, dan keluguan kaca menjamin
kejujurannya.” Sambung Ardi dalam usahanya menenangkan sahabatnya itu.
“Kalau kata maaf dariku itu mampu
membahagiakanmu, akan kulakukan. Tapi, menurutku kau tidak melakukan kesalahan.
Jadi saya pikir tidak ada yang perlu dimaafkan” ujar Dini lembut di barengi
sesungging senyuman.
“Ardi!!, aku itu kesini buat nyari
inspirasi sebagai referensi untuk menyelesaikan makalah yang sedang aku susun.”
“Kalau kamu ingin berbagi ke aku,
boleh nggak aku tahu judul makalahmu itu?” rayu Ardi.
“Kenapa nggak?!, semakin banyak
yang peduli semakin ringan dong bebanku.” Cetus Dini manja.
“Makalah itu sebenarnya merupakan
tugas mata kuliah agama. Topik yang ingin saya angkat itu tentang Ulil Albab.
Lantaran itu saya ingin mengetahui apa definisi dari Ulil Albab, dan
landasan dalil-dalil yang mendukungnya?”.
“Kalau itu sih pernah menjadi bahan kajianku. kalau kamu berminat
menjadikannya sebagai referensi, saya pikir itu bukan masalah.”
“Coba kamu simak firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Imran,
ayat 190 yang artinya : Bahwa sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
begitu pula silih bergantinya antara siang dan malam, menjadi data kajian bagi Ulil
Albab. Siapa mereka itu? Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dikala
mereka berdiri, duduk, berbaring, seraya merenungkan penciptaan langit dan
bumi.
Jadi inilah landasan dalil yang
mendukungnya, sekaligus identifikasi mereka yang memadukan zikir dan pikir
dalam setiap detik kehidupannya.” Tukas Ardi tegas dan mantap.
“ Saya begitu tertarik atas
penjelasanmu, Ar!. Namun apa makna yang tersirat dalam arti mengingat Allah
disaat berdiri, duduk dan berbaring?”
“Makna berdiri, duduk dan berbaring
mengacu pada kedudukan atau posisi manusia-manusia yang ditempatkan diatas bumi
yang berkonotasi ke-ruang-an”.
“Maksud kamu?” sambar dini dengan
semangat empat lima andalannya.
“Berdiri menunjukkan kedudukan yang
setimbang stabil dalam dimensi vertikal, sekalipun berlari juga menunjukkan
dimensi yang sama, namun tidak dalam keadaan normal, jadi cenderung merupakan
variasi saja dari berdiri. Duduk merujuk pada kedudukan setimbang stabil dalam
dimensi horisontal, sedangkan berbaring menunjukkan kedudukan yang setimbang
dalam dimensi kedalaman. Dari ketiga dimensi yang merujuk pada letak kedudukan
ini, dikenal dengan sistem koordinat tata ruang. Dalam ilmu-ilmu eksak disebut
Ordinat, absis, aplikat. Hal ini sangat mengagumkan sekali, karena sangat sesuai
relevansinya dengan alokasi manusia diatas bumi yang berkonotasi ke-ruang-an,
sebagaimana yang saya jelaskan tadi, dengan tugas dan perannya sebagai
khalifah penata dan pemelihara ruang lingkup tempat mereka tumbuh dan
berkembang biak”.
“Kayaknya makin seru aja diskusi
kita!. Terus, mengapa manusia yang memperoleh dispensasi sebagai Khalifah
diatas bumi ini?”. Sahut Dini seraya membetulkan posisi duduknya.
“Pertanyaan yang sungguh menarik!.
Pertanyaan seperti itu di Zaman Azali juga telah ditanyakan oleh Malaikat.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah, Ayat 30 yang artinya: Ketika
disampaikan kepada Malaikat bahwa sesungguhnya Aku (Allah) akan menurunkan
manusia sebagai Khalifah dimuka bumi, sahut mereka (Malaikat): mengapa
Engkau menurunkan manusia yang kelak kerjanya saling bermusuhan antara
sesamanya, padahal kami senantiasa tasbih memuji dan memuliakan-Mu. Sahut
Allah: Aku mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui”. Jawab Ardi
dengan begitu tenang dan dingin, sambil meneguk soft drink yang sedaritadi
digenggamnya sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Saya berasumsi bahwa sanggahan
Malaikat ini bukan tidak beralasan, karena mereka tahu persis karakteristik
tanah sebagai unsur penciptaan manusia. Tahukah engkau bahwa tanah mempunyai
tiga komponen dasar sebagai material pembentuknya?. Ketiga komponen itu adalah
lempung, pasir dan debu. Diantara ketiganya memiliki karakteristik kohesive dan adhesive, yang berarti
bahwa antara unsur-unsur homogen akan saling tarik menarik, sedangkan
sebaliknya unsur-unsur yang non homogen akan saling tolak menolak. Diantara
ketiganya ada tendensi memisahkan diri dan saling tindih menindih dalam
usahanya mendominasi. Disamping itu pula tanah mrupakan sesuatu yang berwujud
materi (mempunyai massa), padahal manusia dengan jasad dari unsur tanah ini
akan dialokasikan kebumi. Hal ini sangat riskan sekali, mengingat bumi
mempunyai sifat menarik segala sesuatu yang memiliki massa yang dikenal dengan
istilah gaya grafitasi bumi.
Hal
ini berarti bahwa manusia cenderung tetarik oleh dunianya, dan sangat sulit
untuk membebaskan diri dari kungkungan ruang lingkup hidupnya ini, karena
sedemikian hebat daya pikatnya. Dengan demikian manusia ini lupa bahwa ruang
lingkup kehidupannya di dunia hanya bersifat sementara, sedang tanah moyang nan
abadi terabaikan atau mungkin terlupakan sama sekali.
Akan
tetapi Malaikat tidak menyadari bahwa Sang Pencipta akan meniupkan Ruh-Nya
kedalam jasad tanah ini, sekaligus membekali ciptaannya ini dengan fasilitas
akal yang merupakan suatu instrumen yang dapat digunakannya untuk mengingat ikrar yang telah dipatrikannya
dihadapan Sang Pencipta di Zaman Azali. Selanjutnya kembali pada penjelasan awal tadi, bahwa manusia mampu
mengkombinasikan ketiga dimensi dalam ritus peribadatannya kepada sang
pencipta, yang sekaligus menggambarkan ritus peribadatan cahaya yang merambat
secara tegak lurus, maupun langit, yang mana dalam hal ini dapat dikategorikan
dalam dimensi vertikal. Begitu pula gunung, pepohonan dan binatang melata
dikategorikan sebagai dimensi horisontal. Sedangkan bumi, air termasuk segala
apa yang terdapat didalamnya dikategorikan sebagai dimensi kedalaman atau aplikat.
Dengan demikian manusia telah
membuktikan dirinya sebagai duta segenap makhluk dalam ritus peribadatannya
secara tiga dimensi. Hal ini memberi arti pula bahwa manusia adalah model (micro cosmos), sedangkan semesta
alam beserta isinya adalah prototipe(macro cosmos)”.
Sambil
bertepuk tangan dan mencoba untuk memekarkan senyumannya yang termanis
sepanjang sejarah zaman Dini berucap setengah teriak “Wonderfull, very very
fantastic!!!. Seandainya asumsi kamu ini demikianlah adanya, yang merupakan
landasan argumentasi Malaikat. Maka, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa
tindakan selanjutnya dari Sang Pencipta untuk mengantisipasi sanggahan para
Malaikat ini?”.
“Kalimat terakhir dari ayat yang
saya petik tadi, yang artinya: Aku (Allah) mengetahui apa-apa yang tidak kalian
ketahui, mengisyaratkan arti bahwa segala segala kebijakan baik itu yang telah
lalu maupun yang akan datang, merupakan kebenaran yang Absolut. Sekali pun
demikian ini jangan ditafsirkan tidak fleksibel atau berkonotasi diktatoris,
karena lanjutan ayat berikutnya membuktikan bahwa memang pengetahuan Malaikat
mengenai tindak kebijakan Ilahi belum memadai. Ada pun lanjutan ayat itu Surah
Al-Baqarah ayat 31-32, yang artinya: Lalu oleh Allah Adam di ajari nama-nama
segala sesuatu, kemudian dijadikan bahan ujian bagi para Malaikat, seraya
dikatakan: jelaskan tentang nama-nama itu jika kalian memang benar.
Sahut para Malaikat: Maha Suci Engkau, kami tidak mengetahui mengenai hal itu,
hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai!
Adam, sebutkanlah kepada mereka nama-nama itu. Setelah Adam menyebutkan
(mengajarkan) nama-nama segala sesuatu itu. Allah kembali berfirman:
Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui apa saja yang
tersembunyi dilangit dan dibumi dan Kuketahui juga apa-apa yang kamu lahirkan
dan sembunyikan.
Inilah tindak lanjut Allah dalam
mengantisipasi sanggahan para Malaikat tersebut, dengan cara mendomonstrasikan
kebolehan Adam yang diprotes oleh mereka (Malaikat), berdasarkan nama-nama
segala sesuatu”.
“Lalu apa gerangan hakikat nama-nama
itu, Ar?”.
“Saya berasumsi bahwa nama-nama
yang diajarkan Allah kepada Adam itu mempunyai arti tersirat sebagai Ilmu
Pengetahuan. Sebagaimana yang perlu kamu ketahui bahwa Ilmu Pengetahuan
itu adalah cahaya (Al Hadits), dengan demikian apa yang diajarkan oleh Allah
kepadanya (Adam) itu merupakan hakikat cahaya yang sesungguhnya, karena berasal
langsung dari Allah sebagai sumber segala cahaya semesta alam ini (Surah
An Nur ayat 35).
Dari sisi lain, Malikat yang
diciptakan dari cahaya dituntut untuk menjelaskan hakikat cahaya seutuhnya.
Tentu saja para Malaikat ini tidak mungkin mampu menjelaskan hakikat Malaikat
(cahaya) secara keseluruhan, karena diantara mereka juga terdapat klasifikasi
yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan tugas dan peranannya masing-masing, dan
suatu hal yang mustahil yang berkualifikasi agak dibawah melampaui dan menjelaskan
yang diatasnya.”
“Dapatkah engkau menjelaskan hal
ini dengan bahasa yang tidak terlalu filosofis.” Pinta Dini mencibir. Karena
memang ia tidak mampu memahami dan menyerap apa yang barusan diutarakan oleh
Ardi.
“Pernakah kau menyaksikan segurat
bianglala terlukis diangkasa beberapa saat setelah hujan turun merayapi bumi?,
warna warninya begitu indah dilatar belakangi sepotong langit biru, seakan
melukiskan dengan puitis pelangi kasih yang sedang merona dihati dua insan yang
sedang memadu kasih kala itu. Itulah pelangi yang tersusun sebagai garis
lengkung beraneka warna.” Gumam ardi dengan begitu puitisnya, sehingga seketika
Dini merasa terbuai, angannya melambung, menerawang jauh kenirwana. Namun,
fantasinya lenyap seketika bagai diterbangkan oleh angin laut yang menyapa,
membelai rambut mereka dengan lembut tatkala, Ardi melanjutkan penjelasannya
yang terkesan begitu intelektualis,justru karena itulah kharisma seorang Ardi
selalu terkungkung di benak kawan-kawannya dan tak akan mugkin sirna dihempas oleh
sang waktu yang terus melaju dan tak pernah mau berhenti dan peduli dengan
sekelilingnya.
“ Dalam teori penguraian (dispersi)
cahaya secara prismatik, maka fenomena alam ini dapat teramati dengan jelas di
laboratorium fisika yang ada di kampus”.
“Tepat sekali!” sambar Dini memuji.
“Dalam suatu percobaan pemancaran
cahaya putih dari sumbernya, kemudian dilakukan lewat suatu cermin yang terbuat
dari gelas (kaca) yang berbentuk prisma, maka pengamat yang berada diseberang
sumber pemancar cahaya putih tadi, akan melihat beberapa macam cahaya warna
warni seperti pelangi.” Lanjutnya
menjelaskan.
“Bagaimana pendapatmu tentang hal
ini?” sela Ardi, balik bertanya.
“Sebenarnya cahaya warna warni itu
adalah hasil dispersi cahaya putih melalui prisma tadi. Sesungguhnya cahaya itu
putih dari sumbernya, namun karena pengaruh spektrum yang dilaluinya pada
prisma tadi, membuatnya terurai menjadi berwarna warni.” Tukas Dini lantang
penuh semangat.
“Cerdas!” Ardi balas memuji. “ Nah!
Disini membuktikan bahwa tidak mungkin cahaya merah jingga akan melampaui, atau
menempati daerah kekuasaan cahaya hijau, karena spektrumnya berbeda.”
Dini mengangguk-anggukkan kepala
pertanda mengerti dan faham apa yang telah di isyaratkan Ardi lewat
penjelasannya. Dengan begitu pula Dini semakin mengagumi sahabatnya yang begitu
kharismatik.
“Engkau tak akan pernah
tergantikan” gumam Dini dalam hati.
Keheningan yang tercipta sekejap
menghadirkan kebisuan diantara mereka. Menyadari hal itu Ardi mencoba untuk
mengembalikkan suasana yang beberapa menit yang lalu hilang.
“Semoga asumsi ini mampu menguak
tabir yang ada dibenakmu, dan nantinya dapat kamu implementasikan kedalam
bentuk untaian kalimat yang terangkai dari penggalan kata demi kata. Namun,
perlu saya tekankan ini bukan tafsir sebab kebenaran yang hakiki hanya disisi
Allah semata”.
“Thank’s for all My best
friend, kau telah membantu menyelesaikan masalahku saya begitu puas dengan
diskusi ini.”
“Dini!! Aku ingin kau tahu semakin
besar masalah yang kita hadapi adalah sesuatu yang paling memberikan kita
kesempatan untuk menjadi orang hebat, dengan catatan masalah itu ingin kita
hadapi bukan di tinggal pergi. Sebab, sesungguhnya kesulitan itu tidak datang
untuk merintangi tetapi ia datang untuk mengarahkan, tergantung sejauh mana
kita mampu mengubah tembok-tembok penghalang itu menjadi batu-batu loncatan
dalam menjemput masa depan yang lebih baik.”
“Ar!! Sorry yach kayaknya malam
sudah begitu larut, aku harus pulang sekarang.”
“OK!! Sampai ketemu besok
dikampus.”
Kedua anak remaja itu meninggalkan
Pantai Losari. Dini melambaikan tangannya. Ardi membalasnya sambil tersenyum
lembut.
YAKUSA
(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi )
Post a Comment for "SEBERKAS CAHAYA DI PANTAI LOSARI"