Literasi Perawat ~ Akreditasi
rumah sakit. Emang perlu ya? Ternyata perlu saudara-saudara. Kalau ndak ada
akreditasi, terus siapa yang mantau mutu rumah sakit di Indonesia? Dunia
kesehatan bukan lagi seperti jaman dahulu dimana dokter dianggap dewa dan
pasien hanya manut. Sekarang pasien sudah bisa memilih mana rumah sakit yang
baik pelayanannya. Mau tidak mau semua rumah sakit harus berbenah agar tidak
tertinggal.
Ketika
melihat standar akreditasi dan elemen penilaiannya, pasti banyak yang mengeluh.
Wajar saja karena sebelumnya rumah sakit belum pernah diajarkan yang demikian.
Mereka harus merombak sistem dan menyesuaikan dengan standar terbaru. Banyak
hal yang sebelumnya belum ada, harus diadakan. Dokumen rekam medis yang awalnya
cuma sehelai, jadi tebel sampe bisa dijadiin bantal dan bahkan di tahun 2023 sudah diberlakukan E-Rekam Medis.
Nggak
usah keburu panik. Tarik nafas panjang. Hal yang paling penting adalah BUKAN
menjadikan akreditasi sebagai beban. Sebaliknya, akreditasi adalah jalan menuju
perbaikan rumah sakit.
Akreditasi
menjadi penting karena untuk mendapatkan/memperpanjang izin rumah sakit harus
sudah terakreditasi. Untuk bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pun
demikian. Wajar lah ya, bagaimana mungkin izin rumah sakit diberikan kalau
pelayanannya nggak standar. Sayangnya banyak rumah sakit yang terhambat
akreditasi karena masalah dana. Bukan rahasia umum kalo akreditasi menghabiskan
banyak biaya. Berbagai macam pelatihan yang harus diikuti, berbagai standar
yang harus diaplikasikan dan sayangnya semua itu tidak tercover dalam biaya
pasien JKN. Saat itulah manajemen rumah sakit harus berpikir keras agar rumah
sakit tetap bisa beroperasi, pasien tertangani dan karyawan tetap digaji.
Dalam
membentuk tim Pokja Akreditasi Rumah Sakit diperlukan pemahaman mengenai isi
dari standar akreditasi tersebut.
Pokja Akreditasi rumah sakit berfungsi untuk melakukan percepatan penyelesaian dokumen-dokumen akreditasi rumah sakit. Dalam pembentukan tim pokja akreditasi rumah sakit harus mempertimbangkan isi dari standar. Disamping itu dalam mempertimbangkan tim pokja akreditasi rumah sakit setidaknya mempertimbangkan attitude dan skill yang dimiliki. Hal ini bertujuan agar terjadinya percepatan pemahaman akan standar.
Membentuk
tim akreditasi sesuai pokja yang
dibutuhkan. Bagaimana cara menyusun tim pokja yang efektif? Lihatlah elemen
penilaian dari masing-masing pokja. Di sana akan terlihat kebutuhan tim pokja
tersebut.
Salah satu contoh pembentukan Pokja Akreditasi Rumah Sakit Starkes antara lain:
- Untuk menunjang keberhasilan standar Pokja Hak Paien dan Keluarga (HPK) tentunya melibatkan tim dari customer service atau front office, dokter, perawat maupun security.
- Standar Kompetensi dan Pendidikan Staf (KPS) setidaknya melibatkan unit HRD, perawat, medis, clinical support, sekretaris medis.
- Pokja Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI). Sebaiknya berisi orang‐orang yang sehari-‐harinya mengurus soal pengendalian infeksi. Walaupun pengendalian infeksi tidak dapat dilepaskan dari keselamatan pasien, hendaklah diingat bahwa pencegahan dan pengendalian infeksi sesungguhnya mempunyai cakupan kerja yang jauh lebih luas dari pada keselamatan pasien. Selain anggota PPI RS sendiri, hendaklah pokja ini mengikutsertakan mereka yang selama ini juga mengelola limbah, lingkungan hidup, teknik, pemulasaraan sarana rumah sakit, dan sentral sterilisasi rumah sakit, dan perwakilan dari unit-‐unit pelayanan. Lebih baik bila pokja ini bisa dipimpin seorang dokter yang bersertifikat pengendalian infeksi atau seorang ahli mikrobiologi klinis.
- Pokja Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS). Anggota-‐anggota pokja ini seperti namanya, perlu mengetahui dengan rinci dokumen-dokumen dan implementasi yang sifatnya mendasar. Salah satu direktur atau justru direktur utama hendaknya memimpin sendiri pokja ini, dan mulai dengan pembahasan mengenai hospital bylaws bila belum ada. Rumah sakit yang mempunyai unit business development bisa mengikutsertakan anggota unit tersebut dalam pokja ini.
- Pokja Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK). Pokja ini mengurus pemulasaraan sarana RS, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan hal-‐hal yang terkait antara fasilitas dan pelayanan. Oleh karena itu, ketua panitia pembina K3RS dan orang-‐orang dari unit pemeliharaan sarana RS perlu masuk dan berkolaborasi di dalam pokja ini.
- Pokja Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP). Pokja ini memang terlihat agak tumpang tindih dengan keenam sasaran keselamatan pasien, walau sebenarnya tidak. Mutu menjadi panglima dalam pokja ini. Oleh karena itu, anggota pokja ini sebenarnya adalah mereka yang selama ini mengelola panitia mutu rumah sakit. Mutu rumah sakit ini dibedakan menjadi mutu klinis dan mutu manajerial. Banyak rumah sakit beranjak mengukur mutu lewat standar pelayanan minimal. Anggota pokok dalam pokja ini hendaklah mereka yang menguasai soal mutu rumah sakit.
- Pokja Manajemen Rekam Medis dan Informasi (MRMIK). Pokja ini unik karena telah memandang rumah sakit sebagai institusi yang memerlukan (dan tergantung) pada sistem informasi. Diakui atau tidak, dewasa ini sistem informasi di rumah sakit memang mulai memegang peranan yang vital. Peran ini mulai dari sistem billing sampai pengambilan keputusan di manajemen puncak. Pokja ini hendaknya beranggotakan pimpinan rekam medis, dan beranggotakan orang-‐orang yang memanfaatkan informasi dalam pekerjaan sehari-‐hari seperti bagian keuangan, akuntansi, pembelian, dan lain-‐lain. Disamping itu perlu ada tim dokumen kontrol, yang membantu setiap fungsi untuk melakukan pengendalian dokumen.
Selesai
menentukan tim, waktunya membuat dokumen akreditasi. Dokumen mana dulu yang
harus dibuat? Sebaiknya dari kebijakan, lanjut ke pedoman & panduan baru
SPO. Ada banyak sumber yang memberikan ceklis dokumen yang dibutuhkan
masing-masing pokja. Untuk contoh dokumen bisa di browsing di Suara Literasi Perawat Indonesia dengan kata kunci Akreditasi, tapi jangan lupa
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Karena tiap rumah sakit akan sangat
berbeda satu dengan lainnya. Ketika dokumen sebagian telah selesai, bisa
langsung dimulai penerapan standar agar pelaksana menjadi terbiasa. Tidak lagi
terkaget-kaget saat diberikan segambreng hal baru secara bersamaan. Ini juga
sebagai evaluasi apakah standar sudah bisa diterapkan secara optimal atau masih
perlu modifikasi.
Lalu
kapan saat yang tepat untuk mengajukan bimbingan akreditasi dari Lembaga Penyelenggara Akreditasi Rumah Sakit ? atau melakukan studi banding ke rumah sakit yang sudah lulus
akreditasi? Saat yang tepat adalah ketika tim akreditasi sudah bisa ‘menemukan
jalannya’ serta dokumen sudah mulai dibuat. Studi banding dulu atau bimbingan
dulu? Saran saya sih studi banding dulu saja supaya kita benar-benar mengerti
real nya penerapan akreditasi itu seperti apa. Jadi kita akan memahami
penafsiran dari standar akreditasi dan elemen penilaian yang ada. Siapa yang
harus ikut studi banding? Sebaiknya seluruh tim akreditasi. Namun apabila harus
dibatasi, maka saran saya adalah orang yang paling tahu tentang pokja tersebut.
Sehingga dia akan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Bukan lagi datang tanpa
ilmu jadi nggak tau apa yang harus dicari.
Usai
studi banding, bisa jadi akan banyak dokumen yang perlu direvisi atau dibuat
kembali. Nggak perlu pusing, itu adalah hal yang wajar. Dari sebelumnya nggak
tahu menjadi tahu. Jadi pasti ada perbaikan. Gimana cara menentukan rumah sakit
yang tepat untuk menjadi tujuan akreditasi? Kriteria simpelnya adalah rumah
sakit yang dengan besar hati mau ngasi contoh dokumennya sekaligus mau berbagi
pengalaman akreditasi disana. Saya nggak tahu pasti kenapa Lembaga Penyelenggara Akreditasi Rumah Sakit tidak membuat
form dokumen standar yang bisa dimodifikasi oleh rumah sakit. Pada akhirnya
tiap rumah sakit harus meraba-raba untuk membuat dokumen sesuai standar.
Disclaimer : dokumen dari rumah sakit yang sudah lulus akreditasi belum tentu
sudah betul bila nanti surveior yang datang di rumah sakit kita berbeda.
Saat
dokumen sudah jadi semua, penerapan sudah 70%, bolehlah mengajukan bimbingan
dari Lembaga Penyelenggara Akreditasi Rumah Sakit(KARS, LAFKI, LARS, LARSI DLL). Di bimbingan ini kita juga akan diubek-ubek lagi masalah dokumen.
Jangan khawatir, telusur lapangan pasti nggak akan kelewat karena itu yang
paling utama.
Dari
hasil bimbingan nantinya kita akan tahu seberapa siap rumah sakit untuk
menghadapi survei akreditasi. Apakah kira-kira bisa dilaksanakan dalam waktu
dekat, perlu survey simulasi atau bahkan mungkin harus mundur lagi. Dibawa
santai saja. Ingat, akreditasi bukanlah tujuan akhir. Melainkan hanya alat
untuk meningkatkan mutu rumah sakit.
Berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan akreditasi? Kemenkes memberi syarat
bahwa untuk maju akreditasi harus ada bukti minimal 3 bulan bahwa rumah sakit
tersebut sudah sesuai standar. Lha menyiapkan biar sesuai standar ini lho yang
lama. Ada yang 1 tahun, ada yang sampe 3 tahun. Rumah sakit saya sendiri butuh
waktu sekitar 1 tahun sejak persiapan hingga survey akreditasi.
Hal
penting lain yang perlu diingat, dalam pembuatan dokumen atau penerapan standar
nggak perlu tanya dari banyak rumah sakit. Ambil contoh dari satu atau dua saja
sudah cukup. Kalau kebanyakan contoh nanti malah bingung mau menerapkan yang
mana. Ibarat pepatah kekinian, less is more. Toh nanti keputusan final tetap di
tangan surveior rumah sakit kita. Dan kalau nanti udah lulus, jangan pelit
berbagi ke sesama. Saingan kita bukan lagi rumah sakit gang sebelah, tapi rumah
sakit negara tetangga yang bikin pasien kita kabur kesana. Buktikan dong kalo Indonesia
nggak kalah keren juga.
Bagi bapak/ibu yang membutuhkan file word lengkap pokja akreditasi Rumah Sakit Standar kemenkes mulai dari regulasi sampai bukti silahkan whatsapp 081242949477
Post a Comment for "Cara Efektif Membentuk Tim Pokja Akreditasi Rumah Sakit Starkes"