Literasi Perawat ~ Siklus kehidupan normal yang kita jalani adalah: tumbuh dan berkembang. Ini mencakup: lahir, sekolah, kerja, berkeluarga, pensiun, kemudian mati.
Itu dulu!
Sejak tahun 2012, berubah!
Lulusan 2012 ke atas, harus memiliki STR. Tanpa STR, meski sudah lulus kuliah keperawatan, tidak dapat kerja. Tidak boleh ‘megang’ pasien. Ujungnya, tidak bakal mendapatkan perlakukan seorang professional dengan gaji setimpal.
Intinya, hidup bukannya makin mudah.
Untuk menjadi seorang perawat profesional, dengan bekal pintar, punya ilmu, pengetahuan, ketrampilan dan ijazah dan segudang sertifikat, nyatanya tidak cukup. Masih ada proses lain yang perlu dipenuhi, hanya untuk bekerja.
Idealnya, sesudah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, orang bisa mencari kerja. Yang sederhana saja, misalnya, mengambil pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), teknik perbengkelan. Selama sekolah, 3 tahun, sudah disiapkan kurikulumnya, bahwa di akhir pendidikan, pasti diharapkan mampu, kompeten untuk bekerja di bengkel, megang mobil, motor dan sejenisnya. Selama di bangku sekolah, dilengkapi dengan berbagai sarana praktik, termasuk laboratorium, serta praktik lapangan, adalah bekal, agar lulusan akan siap pakai.
Sesudah tiga tahun sekolah, lulusan SMK ini, apapun pangkat dan golongannya, bisa dianggap terampil untuk melalukan pekerjaannya.
Sebagai tenaga kerja yang baru lulus, semua orang juga paham, bahwa tidak mungkin dia menjadi pengawas atau supervisor di bengkel mobil. Betapapun bengkel tersebut miliknya sendiri, tidak logis menyebut senior. Dia harus memulai kerja dari bawah. Mulai dari menyiapkan alat-alat, membersihkan mobil, mengidentifikasi kebutuhan, menghitung barang-barang inventaris, dokumentasi, hingga paper works terkait dengan rincian pengeluaran dan pembayaran.
Semua harus tertata. Semua harus dipelajari.
Sesudah lima tahun kerja, anda bisa jadi senior. Sesudah 8-10 tahun kemudian, bukan tidak mungkin, akan dikantongi jabatan sebagai manajer muda!
Kita semua sepakat, bahwa tujuan pendidikan itu adalah agar sesudah lulus sekolah, dapat kerja, kualitas hidup jadi lebih baik dan makin sejahtera.
Persoalannya, jika sesudah menyelesaikan pendidikan formal ternyata pekerjaan jadi sulit, yang memang bukan tanggungjawab kampus mencarikannya. Negara, pihak swasta, masyarakat bahkan individu, semuanya turut bertanggungjawab dalam penciptaan lapangan kerja. Prosesnya, tentu saja diharapkan mudah. Bukan sebaliknya, sulit dan berbelit!
Demikian sejatinya perlakuan kepada lulusan pendidikan keperawatan.
Namun, yang terjadi pada profesi kita ini beda. Lulus kuliah, meski di dalamnya ada materi seambreg, laboratorium, praktik rumah sakit, klinik, malai kesehatan, lapangan dan masyarakat serta puskesmas, ditambah lagi profesi, eh….ternyata lulusannya masih belum boleh bekerja sesuai dengan profesinya sampai lulus Uji Kompetensi, mengantongi ijin STR, serta terdaftar!
Yang tidak membuat saya, orang kalangan bawah, yang berpola pikir sederhana ini, tidak paham, adalah, mengapa kita bikin rumit? Mengapa sesudah lulus kuliah sekian tahun, ikut profesi, masih ada ada uji kompetensi, kemudian baru mendapatkan STR?
Memangnya, sesudah memiliki STR, apa dijamin kerjanya?
Bagaimana jika tidak lulus Ukom? Apakah harus mengulang? Berapa kali?
Siapa sih yang tidak setuju dengan profesional handal berkualitas, punya otak Jerman, tangan Jepang, kaki Inggris, mental Amerika dan hati Mekkah?
Kalau tujuan kuliah adalah menelorkan lulusan yang benar-benar berkualitas, sebaiknya jangan segera diluluskan! Kalau dirasa kuliah 4 tahun masih kurang panjang, tambahklan saja jadi 6 tahun! Jadi sekalian lah! Bukan diincrit-incrit, tambah program ini 1 tahun, pelatihan ini 6 bulan, ujian ini 3 bulan, dll program sertifikasi, yang prosesnya bikin orangtua, mahasiswa, dosen, kampus, bahkan menteri sendiri, bingung!
Siapa sih sebenarnya yang kita tiru? Inggris, Perancis, Amerika, China, Jepang, Belanda atau Arab? Bila kita tidak meniru mereka, apakah berarti kita tidak professional atas nama standard? Sebaliknya, kalau kita bikin aturan sendiri tanpa mengikuti mereka, apakah berarti kita rendah?
Di Qatar, tidak ada badan kayak MTKI yang mengurusi STR ramai-ramai. Tidak ada kuliah profesi yang namanya Ners. Lulus S1 nursing, bisa kerja langsung, dapat gaji besar. Malahan, anak buah orang-orang Qatar ini banyak yang berkebangsaan Inggris, Amerika, Australia dan Canada!
Saya benar-benar heran dengan apa yang terjadi!
Tapi kalau saya ngomong seperti ini, dianggap sulit diatur, serta menentang perubahan ke arah perbaikan. Saya dicap sebagai perawat yang mbalelo!
Sebelum kuliah, anak-anak harus bayar mahal. Selama kuliah, bayar lebih mahal. Sebelum lulus, hingga wisuda, bayar lagi. Sesudah wisuda, jangan senang dulu, karena harus bayar, mengikuti pelatihan agar bisa lulus Ujian Kompetensi. Untuk dapat STR, bayar lagi. Sesudah dapat STR, agar bisa kerja, harus magang, dan tidak gratis. Sebelum diangkat menjadi pegawai pun, harus bayar! Belum lagi ikut SKP, kursus ini itu, seminar ini itu, pula tidak cuma-cuma!
Bapak-bapak, Ibu-ibu dan saudara-saudara yang duduk di pimpinan sana, apapun nama lembaganya…..
Sampai kapan bangsa kita akan seperti ini?
Jika ini adalah tuntutan agar nasib kita diakui dan disejajarkan dengan negara-negara maju, ayo..... duduk bersama dan sederhanakan prosedurnya!
Bila tidak, jangan salahkan anak-anak kita yang mudah frustasi, kriminalitas meningkat, stress di mana-mana, rumah sakit jiwa penuh, kenakalan anak muda membengkak, korupsi- kolusi merajalela dan nepotisme sulit dibendung.
Mengapa?
Karena kita, orangtua, senior seperti saya ini, pembuat kebijakan, pengambil keputusan, pejabat, dan rekan-rekan yang duduk di singga atas sana, tidak banyak memberikan perubahan yang berarti.
Kita yang sudah merasa nyaman dan banyak mendapat kemudahan, seolah-olah yang membuat kehidupan mereka, generasi muda ini, jadi ruwet tak berkesudahan!
STR….bagi sebagian besar perawat kita, artinya beda…..Sudah Tidak Rasional!
Wassalam dari Qatar!
Syaifoel Hardy
Post a Comment for "STR : Sudah Tidak Rasional"