“Lulus Skep tahun 2013, aku tidak lanjut ke program pendidikan profesi. Tidak pernah terlintas sebelumnya, bahwa lulusan sarjana keperawatan, sebagai klinisi, harus memiliki STR. Saluran informasi, tidak segencar tahun-tahun ini. Apalagi di wilayah Sulawesi Tenggara.
Tidak lama sesudah lulus, aku melamar kerja di sebuah Puskesmas terdekat. Alhamdulillah diterima.
Sedihnya, di meja HRD, aku disodori sebuah lembaran yang berupa surat pernyataan bersedia tidak bayar.
Hatiku bergejolak. Mengapa harus seperti ini? Bukankah ini merupakan sebuah bentuk pelecehan profesi? Mengapa harus tidak dibayar? Bukankah lebih baik lamaran kerja kami ditolak daripada berupa pemerasan kerja atau tidak adanya penghargaan terhadap tenaga kerja?
Aku merasa manajemen tidak memiliki etikat baik kepada kami. Lebih baik menjadi buruh kasar ketimbang menjadi tenaga professional yang kelihatan mapan di depan mata tetangga, namun kenyataannya dipermainkan di lapangan kerja yang nyata. Darah muda ku mendidih ingin berontak, tapi tiada daya.
Aku hengkang!
Dari Kendari, aku beranikan diri merantau, kerja di luar pulau. Kalimantan. Aku bekerja di sebuah perusahaan Kelapa Sawit.
Di tengah hutan belantara. Berjam-jam perjalanan guna menjangkaunya. Sangat jauh dari kota. Sebuah perjalanan hidup baru yang secara fisik berat. Aku tidak pernah bayangkan, lulus dari pendidikan keperawatan, dunia kerumah-sakitan, kemudian mendarat di perusahaan seperti ini. Dunia perhutanan. Bagaimanapun kerasnya, harus aku jalani. Kulitku yang sudah ciklat, jadi kehitaman.
Ah, begini rasanya memulai hidup. Dari dalam hati menangis. Bibirku tersenyum.
Aku kerja sebagai tenaga kesehatan dalam tim HSE (Health Safety & Environment). Selama beberapa waktu aku jalani dengan senang hati. Kalaupun ada yang pahit, harus kubuang.
Terkadang, aku merasa, hidup ini harus dicocok-cocokkan. Tidak ada yang 100% mulus, sesuai dengan keinginan kita. Termasuk, model kerja seperti ini.
Di tempat kerja ini, ternyata, ada aturan baru. Aku dipanggil oleh supervisor. Perawat yang kerja di industry, harus memiliki sertifikat K3.
Aku sempat gelisah. Bagaimana harus bersikap? Di tahun kedua ini, sedikit tabungan dari hasil kerja aku gunakan untuk mencari pelatihan K3 di Jawa. Tanpa fikir panjang, akupun berangkat ke Yogyakarta sesudah setahun kerja.
Sayangnya, selesai dari Yogya, orang yang aku kenal di Kelapa Sawit, sebagai senior, ternyata pindah. Otomatis, aku tidak bisa lagi punya koneksi untuk balik ke sana. Aku pun mencoba cari peluang lain, seadanya. Yang penting ada kerjaan.
Masih di Kalimantan Timur, kini, aku berlabuh di sebuah Hotel. Tepatnya di sebuah Bar, di mana banyak bule yang mondar-mandir di sana. Aku ditempatkan di bagian Laundry. Bagian cuci dan nyeterika. Tidak apa-apa. Aku jalani dengan ikhlas. Toh, pekerjaan seperti ini bukan tujuan akhir. Ini hanyalah proses.
Sambil bekerja, sedikit demi sedikit aku belajar berbahasa Inggris. Masih belepotan. Dari situ aku merasa senang. Aku memiliki keterampilan baru. Alhamdulillah, bukan hanya duit yang aku dapat.
Sedikit dari hasil kerja ini aku kumpulkan.
Aku kemudian balik ke Kendari. Aku ambil program pendidikan profesi. Tidak lain, kecuali aku berharap akan memberikan nilai lebih kepada pendidikanku. Ini bukan karena pilihanku. Namun lebih, karena aturan yang aku tidak bisa mampu memilih. Toh, aku sudah punya sertifikat K3 dan sedikit bahasa Inggris, yang menurutku ini sebagai benih modal, yang insyaallah suatu hari nanti pasti akan ada hikmahnya.
Balik ke Kendari, aku jalani pendidikan lagi. Masuk kampus lagi.
Setahun penuh praktik di RS, sangat cepat. Usai menyelesaikan pendidikan profesi, pada tahap akhir, di kampus ada acara Guest Lecture, dengan Bapak Syaifoel Hardy sebagai pematerinya. Isinya, memberikan tambahan wawasan baru bagiku, meski belum sepenuhnya.
Bagaimanapun, aku serius. Pada saat yang sama, aku urus Passport. Thus, kali ini, aku memiliki tambahan kompetensi baru. Skep, K3, pengalaman di industry kelapa sawit, Bahasa Inggris, pembekalan ke luar negeri dan Passport.
Itu pun, belum aku katakan cukup.
Usai wisuda, aku mencoba mencari kerja dengan harapan bisa untuk sangu. Jujur, aku tidak mau lagi melamar kerja di Puskesmas atau RS yang tidak bersedia menggaji karyawana hanya dengan iming-iming kami diberi pengalaman oleh mereka. Kali ini, aku melamar kerja di perusahaan alat-alat kesehatan.
Di sana, aku dapat tambahan pengalaman baru, teman-teman dan supervisor baru, wawasan baru. Lingkungan kerjanya nyaman.
Ah, sulit digambarkan. Yang pasti aku enjoy saja.
Hampir jalan setahun sudah di sini, aku berubah fikiran. Bahwa, sudah saatnya, aku mencari tantangan yang lebih besar. Yang aku fikirkan adalah: pengembangan masa depan. Akupun pamitan.
Dengan sedikit bekal, restu orangtua, potensi yang aku miliki di atas, ingin aku pertajam lagi. Saat anda membaca tulisan ini, aku sedang mengikuti kursus intensive Bahasa Inggris di Pare-Kediri, Jawa Timur. Bukan untuk gagah-gagahan. Kayaknya, aku butuh pisau yang benar-benar tajam. Aku tidak ingin hanya bisa berbahasa Inggris dengan asal ngomong, tetapi tidak benar. Aku ingin benar-benar bisa ngomong.
Kali ini, aku sudah punya STR, Ners, sertifikat K3, pengalaman RS. Puskesmas, Industri, Alat-alat Kesehatan, dan bahasa Inggris. Kayaknya, selama tiga tahun terakhir ini, modalku sudah cukup untuk menjual diri.
Bahwa berencana itu penting. Tetapi yang lebih penting lagi adalah: berproses
Saat ini, aku sedang menunggu peluangnya, yang insyallah tidak lama lagi. Selain dari orangtua, aku harapkan doa anda, semoga bisa kuraih.”
Salam dari Pare.
Seperti yang dikisahkan oleh Heriyansyah kepada:
SYAIFOEL HARDY
WA 081336691813
Post a Comment for ""Aku Disodori Pernyataan: Bersedia Tidak Dibayar""