Renungan HUT PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia)Literasi Perawat ~ Sekilas ketika bicara dilema, berarti pikiran kita tertuju pada dua hal yaitu keberanian kita dalam menghadapi sesuatu dan keraguan kita dalam melaksanakan sesuatu. Sekat antara keberanian dan keraguan seringkali menimbulkan dilema antara melaksanakan atau menghentikan, berani atau takut serta mampu atau tidak mampu. Semua itu menjadi dilema, karena sekat ketidakyakinan merupakan pokok kehadirannya.
Disetiap pekerjaan yang kita lakukan, kadang-kadang menimbulkan dilema. Memang hal lumrah, namun apabila berkepanjangan, maka dilema benar-benar akan menjadi penyakit berbahaya karena menimbulkan pesimisme yang merupakan akibat dari dampak ketidakyakinan. Kerapuhan jiwa akan terus menggerogoti manakala kebimbangan hadir disetiap langkah kerja yang kita lakukan. Upaya untuk menurunkan tingkat kecemasan tersebut memang butuh waktu dan proses, tapi insan yang menilainya secara positif harus menjadikan dilema sebagai bagian dari proses pendewasaan berfikir dan bertindak.
Kalimat “dilema” mungkin cocok dilekatkan pada profesi keperawatan saat ini. jika memperhatikan seluruh aspek dalam praktik keperawatan maka setidaknya kita menemukan 2 hal yaitu praktik secara baik dan benar. Dalam aplikasinya, praktik keperawatan yang dikatakan baik ketika seorang perawat mampu memenuhi aspek etik dalam kerjanya.
Aspek-aspek tersebut meliputi kebaikan dalam kerja seperti pelayanan yang diberikan, pengambilan keputusan secara etis serta adanya penerapan kodek etik profesi dan nilai moral dalam memperlakukan klien. Selain itu dalam praktiknya, perawat juga diminta dengan benar melakukannnya.
Kebenaran mucul ketika praktik tersebut telah dianggap legal dan mampu memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan seperti adanya keahlian dari perawat itu sendiri, berkompeten atau bersertifikat dalam disiplin ilmu keperawatan yang digeluti serta diakui dalam lingkup kerja organisasi. Tidak hanya itu, dalam aspek lain juga harus dilihat dari kewenangan-kewenangan yang diberikan seperti izin praktikum serta Surat Tanda Registrasi (STR) yang disahkan oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI).
Melihat kondisi demikian maka praktik keperawatan secara professional benar-benar dilakukan dengan selektif, hal ini mengisyaratkan bahwa tenaga keperawatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan harus memiliki kompetensi dan sumber daya yang relevan dalam mendukung proses pelaksanaan pelayanan secara komprehensif. Tentu dengan 2 aspek tersebut, perawat menjadi tenaga kesehatan yang mumpuni dan diakui eksistensinya dalam bekerja.
Namun jika kita menelaah praktik yang dilakukan oleh perawat saat ini maka ada beberapa keterbatasan yang senantiasa masih melekat di tubuh profesi keperawatan itu sendiri. Individu perawat pun ikut berfikir tentang keterbatasan tersebut tanpa merenung ingin mengubah keterbatasan menjadi kelebihan. Tapi itupun hanya sebatas menjadi perbincangan dikalangan profesi.
Alasan kewenangan menjadi tanda tanya besar untuk diposisikan dengan profesi lain ketika bicara tentang tugas, tapi sedikit yang mau bergerak untuk melegalkan kewenangan yang ada menjadi lebih besar.
Menurut pendiri Indonesian Nursing Trainers (INT) Syaifoel Hardy, setidaknya ada beberapa keterbatasan yang ada dalam dunia keperawatan saat ini. Keterbatasan tersebut menurut trainers and writers nurses itu meliputi pertama, perawat diminta untuk mempelajarai seluruh aspek penyakit namun tidak diperkenankan menentukan hasil akhirnya, kedua, Boleh melihat tanda dan gejala penyakit namun dilarang mendiagnosanya. ketiga. Boleh mengidentifikasi keluhan tapi tidak bias mengobatinya, keempat, Diharuskan mempelajari farmakologi tapi tidak boleh sembarangan memberikan obat. kelima, memberikan obat atas perintah tanpa bisa sekehendak hati, keenam. Wajib belajar dan mempelajari patofisiologi penyakit tapi tidak diperkenankan menentukan jenis diagnostiknya. Ketujuh, menerima uang pembayaran keperawatan namun tidak diperkenankan menentukan gaji. Kedelapan, boleh bekerja sebagai pelaksana tapi tidak boleh menduduki jabatan sebagai direktur. kesembilan, melaksanakan hasil keputusan tanpa menjadi bagian dari pengambil keputusan, kesepuluh, menjadi profesional bermartabat namun tidak memiliki akses menjadi pejabat.
Dari praktik memang sudah mengenal dilema dan dalam praktik pun masih ada keterbatasan, hingga berujung pada penguatan regulasi yang belum menempatkan perawat pada aturan yang jelas, pemerintah pun ikut dilema dalam masalah ini.
Butuh perjuangan dan semangat yang besar untuk hentikan itu semua. Penguatan regulasi keperawatan sangat penting dilakukan sebagai bagian dari eksistensi perawat dalam bekerja.Kedepan kita berharap adanya sinyal harapan dari pemerintah dalam pengaturan regulasi yang jelas, karena perawat juga butuh kejelasan dalam menapaki masa depannya.
Selain itu eksistensi ribuan perguruan tinggi bidang keperawatan yang setiap tahunnya meluluskan ribuan perawat-perawat professional dan vokasional diharapkan mampu memenuhi aspek yang diinginkan seperti mutu lulusan, mutu perguruan tinggi serta penyediaan lapangan kerja bagi perawat.
Pada akhirnya organisasi Profesi tidak hanya melihat dengan sebelah mata kondisi yang ada di lapangan tapi mengupayakan agar perawat mau dan mampu bekerja secara professional dengan memperjuangkan hak yang ada di diri perawat itu sendiri. Perjuangan tidak hanya selesai pada pengesahan Undang-undang keperawatan tetapi lebih pada perjuangan peningkatan kesejahteraan perawat dalam bekerja. Apapun agenda yang dilakukan PPNI semua harus tercermin dalam peningkatan kualitas tenaga perawat itu sendiri.
Oleh : Achir Fahruddin
Penulis adalah Perawat di Comprehensive Rehabilitation Centre of Majmaah Saudi.
Post a Comment for "Dilema Praktik Keperawatan"