Pertemuan Kemenkes dan PPNI serta jajarannya beberapa hari yang lalu di Graha DPP PPNI Jakarta mengingatkan saya kepada kedatangan delegasi Komisi IX hamper 10 tahun silam saat saya masih bekerja di Qatar. Pertanyaan yang saya ajukan waktu itu kepada salah satu anggota delegasi adalah: “Setelah kedatangan bapak dan ibu ke Qatar ini, apa kira-kira langkah konkritnya?”
Tanpa bermaksud su’udzon, pertanyaan tersebut lumrah diajukan oleh perawat yang memiliki wawasan kepada pejabat kita. Kegiatan kenegaraan, itu bukan main-main. Perencanaannya harus matang, karena ada kaitanya dengan anggaran. Anggaran itu duitnya rakyat. Duitnya rakyat itu bukan seperti hutang di Bank atau Finance yang dua tiga hari kemudian cair.
“Kami akan tindak lanjuti kunjungan ke Qatar ini untuk rekrutmen perawat.” Itulah jawabannya. Apa hasilnya? Hingga saat ini tidak ada realisasinya. Bahkan sudah dua kali prometric dijalankan, teman-teman sebagian yang sudah mundur dari pekerjaannya karena berharap bisa terbang ke Qatar, nyatanya Cuma mimpi di siang bolong. Padahal, sudah lolos ujian prometric. Trainernya dari Filipina. Dananya ratusan juta Rupiah.
Nah, pertemuan dengan Kemenkes beberapa hari lalu juga harus disikapi dengan cermat. Kalaupun agendanya adalah One Village One Nurse (OVON), itu bukan persoalan mudah. Apalagi baru saja terjadi masalah adanya Desa Fiktif. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada tahun 2018. Tahun depan (2020) per desa mendapatkan Rp 1 milliar per tahun (nasional.kontan.co.id).
Dana tersebut, menurut Permen No.16 Tahun 2018, sudah ada aturannya untuk apa saja. Ayat 1: untuk membiayai pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Ayat 2: membiayai pelaksanaan program dan kegiatan prioritas yang bersifat lintas bidang. Ayat 3: prioritas yang disebut pada ayat 1 dan 2 diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat desa berupa peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan serta peningkatan pelayanan publik tingkat desa.
Memang, pembangunan bidang kesehatan juga tercantum dalam Pasal 5 Permen No.16 Tahun 2018, yakni bidang kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, transportasi, ekonomi serta berbagai bidang lainnya. Namun, kesehatan yang dimaksud mencakup: penyediaan air bersih dan sanitasi, pemberian makanan tambahan untuk bayi dan balita, kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui. Dengan kata lain, secara eksplisit tidak dicantumkan kata ‘Perawat’ atau ‘Keperawatan’. Artinya, perawat boleh berharap, tetapi jangan berbesar hati dulu.
Ingat, profesi kesehatan tidak hanya perawat. Ada profesi kesehatan lain yang butuh perhatian dari Menkes agar tidak terjadi kecemburuan sosial.
Farmasi, Laboratorium, Gizi, Fisioterapi, Rekam Medis, Bidan, Kesling, boleh jadi antri untuk mendapat giliran gelar ‘Desa’ di belakang nama profesinya. Lagi pula, semuanya butuh proses. Semua butuh pembicaraan tingkat tinggi. Dan jangan lupa, Desa memiliki otonomi untuk mengatur serta memprioritaskan dana tersebut untuk apa.
Kalau sekedar memberi Honor OVON, misalnya Rp 4 juta per bulan, barangkali gampang. Desa hanya butuh Rp 4 juta x 12 = Rp 48 juta per tahun. Masalahnya, ada biaya operasinal lain yang tidak kecil jumlahya untuk ngontrak profesi keperawatan ini. Mulai dari pengadaan ruang keperawatan, fasilitas kedokteran dan keperawatan, obat-obatan, transportasi, komunikasi, alat kantor dan lain-lain, yang jika dikompres saja dananya menelan sedikitnya Rp 50 juta. Itu dana mepet superhemat. Mestinya bisa mencapai Rp 300 juta.
Pertanyaannya: Apakah Menkes mikir tentang biaya opersional ini pada OVON? Atau perawat yang harus cerdas mengusulkan solusi lainya?
Mestinya begini yang praktis:
- Perawat mengusulkan Menkes ke Kementrian Tenaga Kerja dan Perindustrian untuk strik implementasi program OHN di industry. Setiap perusahaan dengan 50 karyawan atau lebih, harus ada perawatnya. Ini penting guna pemeliharaan serta layanan kesehatan kerja. Duitnya, otomatis bukan dari negera, tetapi milik industry. Kebijakan seperti ini tidak memakan anggaran Pemerintah. Saat ini terdapat 24 jenis industry di negeri ini (BS, 2019). Pada tahun 2016 saja menurut Sensus Eonomi BPS, ada 26,7 juta perusahaan. Jika kebijakan ini diterapkan, tidak akan ada perawat nganggur. Sayangnya, kampus tidak proaktif mengajarkan OHN sehingga perawat kurang siap. PPNI harus sigap.
- Mengusulkan maksimalisasi pengadaan mobil Ambulan di tiap kecamatan. Satu ambulan bisa 3-5 perawat. Pengadaan mobil ambulan tidak mahal dan itu investasi. Terdapat 7094 kecamatan di Indonesia saat ini. Layanan emergency kebutuhan public. Jika ini terealisasi, akan ada sedikitnya 20 ribu perawat terselamatkan masa depannya. Profesi lain tidak bakal ngiri.
- Ketiga, Repubik tercinta saat ini sudah punya MOU dengan Australia, Korea, Jepang, Brunei dan Malaysia. Mengapa tidak kita maksimalkan pengiriman perawat ke negara-negara tersebut yang bakal mendatangkan devisa negara? Bukankah ini sangat menguntungkan?
Ringkasnya, perawat jangan keburu Eforia dulu dengan terkait pertemuan kita di Graha PPNI. Menkes bisa review strategi pendidikan keperawatan di lingkungan Kemenkes atau mengusulkan ke Kemendikbud, kita agar mendunia. Jangan kelasnya local serta berharap menggunakan Dana Desa saja. Mari ajarkan perawat ita bagaimana mendatangkan duit ke dalam negeri. Inilah konsep cerdas. Memanfaatkan ABPN mungkin baik, tetapi sudah bukan zamannya lagi.
Usulan ini boleh jadi ngegombal. Tetapi ini lebih realistis ketimbang memaksakan kehendak menggunakan Dana Desa yang belum tentu dapat approval. Atau Menkes punya sumber dana lain?
By Syaifoel Hardy
Post a Comment for "Ketemu Menkes: Hanya Untuk Menghibur Hati Perawat"