(Diadaptasi dari The Javna Brothers, “Life is a Joke” (2017: 108-110).
Empat orang pengacara dari sebuah perusahaan Konsultan Hukum berangkat bersama dengan kereta api ke sebuah konferensi internasional, yang membicarakan “Etika Pengacara.” Dua senior dan dua junior. Kedua junior masing-masing membeli satu tiket. Kedua senior hanya membeli satu tiket untuk dua orang. “Bagaimana mungkin?,” tanya salah seorang junior. Salah seorang senior menjawab: “Perhatikan! Belajar dari pengalaman.”
Setelah kereta api meninggalkan stasiun, kedua senior berdesak masuk ke salah satu toilet dan mengunci pintunya. Ketika kondektur mengetuk pintunya untuk meminta tiket, salah seorang senior membuka sedikit pintu toilet dan mengulurkan tiketnya. Setelah kondekturnya berlalu, kedua senior keluar sambil tersenyum ke arah kedua junior. Kedua junior mengangguk, tanda mereka sudah belajar sesuatu yang baru dari pengalaman.
Setelah konferensi selesai, keempatnya kembali ke kotanya dengan kereta api. Kedua junior membeli satu tiket untuk mereka berdua. Kedua senior ternyata tidak membeli satu tiket pun. “Bagaimana mungkin?,” tanya kedua junior sekaligus. Kata salah seorang senior dengan tersenyum: “Perhatikan! Belajar dari pengalaman.”
Ketika kereta api sudah meninggalkan stasiun, kedua junior masuk berdesak ke sebuah toilet. Segera salah seorang senior bertindak sebagai “kondektur” dan mengetuk pintu toilet kedua junior. Tiketnya beralih tangan. Dengan satu tiket kedua senior masuk berdesak ke salah satu toilet. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya keduanya berhasil mengelabui sang kondektur benaran.
Sial bagi kedua junior! Ketika pintu toiletnya diketuk kondektur benaran, mereka kedapatan tidak punya tiket. Keduanya ditangkap, sementara kedua seniornya lolos untuk kedua kalinya.
Renungan: Ketika sudah terbiasa menipu untuk mencapai keuntungan, kebiasaan itu akan diterapkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mitra kerja, rekan seprofesi, bahkan sesama anggota satu partai politik.
Post a Comment for "ETIKA PROFESI"