Perbedaan suku, bahasa, agama, serta budaya, telah terbentuk menjadi
satu kesatuan yang utuh (NKRI), yang membentang dari Sabang sampai
Merauke. Keragaman tersebut berdiri tegak dalam lingkaran persamaan, di
bawah naungan satu bendera: bendera Merah Putih. Satu lagu kebangsaan:
lagu Indonesia Raya. Satu bahasa: Bahasa Indonesia. Satu lambang negara,
yakni seekor Garuda yang memiliki azas Pancasila, dan dipadu dengan
seuntai kalimat bermakna agung “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai mottonya.
Jika merujuk pada esensi atau inti dari motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang hakekatnya mengandung nilai-nilai nasionalisme,
yaitu persatuan, kesatuan, serta kebersamaan untuk satu niat dan tujuan
(visi dan misi), yang dijalin erat oleh rasa persaudaraan. Sudah tentu,
keragaman yang terikat dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah aset yang
paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
luhurnya, yakni menata dan membangun bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa bermartabat yang mampu berdiri sendiri: adil, makmur, damai,
sentosa.
Tapi, bagaimana mungkin, Garuda yang konotasi melambangkan eksistensi
serta perjalanan bangsa Indonesia di era kemerdekaan, bisa mengepakkan
sayap dan terbang mengangkasa, bila Pancasila hanya sebatas ruh yang
pasif dalam jasadnya, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi penggerak
bagi ruh tersebut tidak dinamis, atau tidak bergerak efektif sesuai inti
dari kandungan maknanya.
Dalam demokrasi Indonesia, yang menginduk pada Pancasila dan
berorientasi pada Undang-Undang Dasar 1945, serta mengacu pada
Musyawarah Mufakat, nuansa kebebasan yang sudah diatur dan dilindungi
norma-norma atau etika kebangsaan, telah melahirkan kembali berbagai
perbedaan yang kongkrit sebagai bentuk apresiasi dari kedemokrasian
tersebut, seperti partai-partai politik, organisasi massa, serta lembaga
swadaya masyarakat. Dan maraknya keberadaan kelompok, perkumpulan atau
organisasi-organisasi, baik yang bergerak di bidang politik, sosial
kemasyarakatan ataupun yang lainnya, menunjukan bukti bahwa demokrasi di
Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perbedaan itu masih berpegang teguh
pada hakekat Bhinneka Tunggal Ika, dan menjadi keragaman yang harmonis
atau selaras dalam demokrasi Indonesia? Apakah Bhinneka Tunggal Ika yang
menjadi benang merah atau rangkuman dari norma-norma atau etika
kebangsaan bangsa Indonesia, hanya tinggal semboyan yang maknanya tidak
lagi dipahami sebagai wejangan atau petuah untuk motivasi bagi kehidupan
bangsa Indonesia sekarang dan masa depan?
Demokrasi Indonesia atau Demokrasi Pancasila yang berazas musyawarah
mufakat, yang secara harfiah menyimpan makna dari nilai-nilai
nasionalisme dalam Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kebersamaan yang diikat
oleh rasa persaudaraan, yang menjadi manifestasi dari kokohnya persatuan
serta kesatuan untuk satu tujuan, dimana setiap keputusan adalah hasil
kesepakatan yang intensif dari kebersamaan, yang disaring secara jujur
dan adil, dan dikembalikan dengan jujur dan adil pula untuk kebersamaan.
Perbedaan kelompok, perbedaan pendapat dan pemikiran, yang disebut
keragaman dalam demokrasi Indonesia, bisa menjadi penyakit mematikan
yang merongrong bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhurnya,
dan akan menjadi bumerang yang memalukan bagi paham serta
kedemokrasiannya, jika perbedaan atau keragaman tersebut telah saling
berbenturan dan tidak lagi memprioritaskan kepentingan serta tujuan
bersama atas nama kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan,
seperti yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Sejarah panjang penderitaan bangsa Indonesia pun akan terus berlarut,
dan Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang didominasi konflik
internal di atas kemerdekaanya, jika ruang demokrasi yang begitu luas
memberi kebebasan untuk berekspresi dan beraspirasi, telah menumbuhkan
sikap egois, individualis, apatis, serta sikap mementingkan kelompok
atau golongan. Sikap-sikap tersebut adalah pembunuh kebenaran makna
demokrasi, yang tegas menyatakan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan rakyat, dan rakyatlah yang memegang kendali dalam sistem
pemerintahan, yang kedudukannya berbentuk amanat.
Sikap-sikap yang jelas bertentangan dengan hakekat Bhinneka Tunggal
Ika, hanya akan membawa demokrasi Indonesia ke jurang kebablasan, dimana
kedemokrasiannya bukan lagi media atau alat untuk menegakkan
nilai-nilai nasionalisme yang menjadi subjek dari satu niat dan tujuan
(visi dan misi) yang utuh. tetapi, menjadi ajang perseteruan dan menjadi
kendaraan untuk memperebutkan kursi kehormatan yang disebut kekuasaan.
Dan Pancasila yang menjadi ruh bangsa Indonesia, yang seharusnya menjadi
tolak ukur bagi pola pikir dan tindakan bangsa Indonesia untuk
merealisasikan tujuan bersama dalam wadah demokrasi, hanya menjadi objek
yang mandul dalam kedemokrasiannya.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah kesadaran dari
setiap individunya untuk bisa mengevaluasi dan merevisi diri, serta
berevolusi untuk sebuah perubahan besar di dalam diri individunya atau
revolusi diri, yang disebut pembinaan moral atau akhlak. karena moral
atau akhlak, merupakan kerangka utama dalam demokrasi Indonesia atau
Demokrasi Pancasila yang disistematikan oleh Bhinneka Tunggal Ika untuk
menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kebersamaan, demi menata dan
membangun peradaban bangsa Indonesia dalam demokrasi yang berjiwa
amanat: amanat dari amanat, amanat oleh amanat, amanat untuk amanat,
tanpa harus dikotori oleh kebohongan. Sebab kebohongan adalah bentuk
pengkhianatan yang tumbuh dari kemiskinan moral atau akhlak, yang
menjadi titik awal dari kebobrokan atau kehancuran.
Post a Comment for "Bhinneka Tunggal Ika dalam Demokrasi Indonesia"