BIMA & DOMPU DALAM CENGKRAMAN POLITIK PEMILUKADA
Oleh :
Iwansyah,S.Kep.,Ns.,CWCCA
(Mantan Ketua
HMI Kom.STIKPER Gunung Sari )
Lagi-lagi
Kabupaten Bima dan Dompu dalam cengkraman euforia demokrasi. Para elit penguasa
mulai nampakkan wajahnya dalam memainkan berbagai macam jurus politik, persaingan
terus membahana dan memanas untuk mendapatkan tahta kekuasaan.
Pemilukada
sebagai sarana untuk menyalurkan hak pilih sebagai salah satu upaya untuk
mengwujutkan demokrasi lokal. Pesta demokrasi di Bima-Dompu tersimpan bahaya
yang tak terlihat seperti racun yang mereknya madu, di balik kemanisannya akan
melahirkan kepahitan yang tiada duanya, yang akan mengatur jalannya
pemerintahan pasca pemilihan. Dimana pemilukada sebagai alat legitimasi
kekuasaan para elit.
Pemilukada
yang ada di Bima dan Dompu berpotensi jadi bencana, jika pemilukada salah urus
dan salah pilih. Untuk kesekian kalinya
di Bima dan Dompu akan memilih calon Bupati dan Wakil Bupati secara langsung. Berbagai janji manis sebagai
visi dan misi para elit penguasa di dalam memainkan jurus politiknya untuk
mendapatkan perhatian masyarakat supaya masyarakat bersimpati untuk memilihnya.
Persaingan politik yang semakin merajalela
berbagai janji manis yang di janjikan oleh para elit penguasa berdampak
pada kepercayaan masyarakat akan jani manis tersebut. Pertanyaannya adalah,
apakah janji manis tersebut bisa di realisasikan? Ataukah hanya sebuah
simbolitas untuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat biar bisa di pilih?
Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban politik. Setajam apapun pedang, ketika
pedang itu tidak di fungsikan maka pedang tersebut tidak bisa menembus apapun,
begitu juga dengan politik di era modernisasi sekarang ini banyak retorika tapi praktisinya
tidak mempunyai nilai (jauh panggang dari pada api).
Kurang
matangnya praktik demokrasi (demokrasi substansial) baik di tingkatan elit
pemerintahan maupun di tataran warga akan memicu terjadinya bias demokrasi,
dalam artian demokrasi bukan sewenang-wenangnya pilihan tapi lebih di sebabkan
oleh adanya dorongan procedural untuk
memenuhi kebutuhan sesaat.
Misalkan
di kalangan warga yang tingkat kesadaran
politiknya kurang memadai di tambah dengan kefakiran ekonomi, tentu warga yang
demikian memiliki calon yang bisa memenuhi kebutuhan saatnya, seperti sembako
atau uang. Keadaan warga yang dominan seperti tersebut, akan sangat mudah di
manfaatkan oleh elit masyarakat untuk melakukan persekongkolan dengan calon
pemimpin daerah, entah akan melakukan “deal”
yang akan di penuhi setelah menjabat pemerintahan formal atau bentuk
lainnya.
Jika
berangkat dari asumsi bahwa tujuan ideal pemilihan secara langsung antara lain,
untuk mengwujudkan pemerintah yang akuntabel,
transparan dan responsive. Di anatara karakteristik dasar dari transisi demokrasi adalah relative masih
minimnya prilaku demokrasi baik di tataran elit penguasa maupun elit
masyarakat. Dengan demikina maka sulit di hindari tidak akan terjadi bias
demokrasi dalam pemilukada bahkan sangat mungkin di warnai”persekongkolan-persekongkolan”.
Manipulasi kebijakan public untuk kepentingan penguasa, penyebab utama
terjadinya hal ini antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintahan
formal mengalami ketakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan –kekuatan
social,budaya, ekonomi, politik, dominan yang berada di luar struktur
pemerintah . jika demikian adanya maka berkah dan kenikmatan pemilukada hanya
akan menjadi nikmat bagi sedikit orang dan bencana bagi yang lainnya.
Post a Comment for "BIMA & DOMPU DALAM CENGKRAMAN POLITIK PEMILUKAD"