Oleh : Iwansyah (Ketua HMI MPO Kom.STIKPER G.S Makassar)
pembicaraan kita tentang
kepemimpinan berakar pada truisme berikut. Berbagai masalah yang mengepung kita
bukan gejala alami seperti gempa bumi, tetapi hasil relasi timbal balik antara
tindakan manusia dan struktur sosial. Tak ada struktur sosial yang tidak
melibatkan pelaku/tindakan, sebagaimana juga tidak ada tindakan yang dilakukan
di luar struktur tertentu. Contohnya, perampokan dana bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) atau kasus Bank century jelas melibatkan pelaku yang bisa kita
tunjuk dengan lugas. Akan tetapi, para pelaku itu beroperasi dalam skema cara
perampokan yang sudah lama menjadi pola relasi bisnis-pemerintah. Karena
masalah masyarakat disebabkan oleh tindakan orang-orang konkret, solusinya juga
menyangkut koordinasi tindakan. Karena tak ada koordinasi tanpa koordinator,
muncul kontroversi tentang siapa/bagaimana sang koordinator. Koordinator
hanyalah nama lain bagi "pemimpin". Kemudian kita sibuk mencari
"pemimpin".
Tak ada masyarakat yang tidak punya masalah.
Omongan tentang "masyarakat yang bebas masalah" adalah buih verbal.
Tentu soalnya adalah kadar. Ketika kita bilang "krisis besar", itu
hanya berarti kita menganggap masalah yang mendera kita berisiko tinggi meremuk
rajutan yang mendasari kelangsungan hidup bersama yang disebut ’Indonesia’.
Mengapa kita meratap jika tata yang bernama
’Indonesia’ hancur? Bukankah apa pun yang ada di bawah langit, termasuk
’Indonesia’, bisa sirna? Rupanya kuncinya terletak pada teka-teki psikososial
berikut. Sementara kita terus mengumbar gaya-hidup sok, melakukan korupsi
dengan penuh kebanggaan, menggusur dan memeras orang-orang miskin dengan
brutal, kita tetap menghendaki adanya ’hidup bersama’ yang disebut ’Indonesia’.
Indonesia adalah cita-cita res publica (urusan bersama).
Heboh mengenai "kepemimpinan" adalah
gaduh kita tentang ketidakberdayaan dan kemalasan kita sendiri untuk
mengoordinasi cita-cita itu menjadi realitas. Kemudian kita membebankan
ketidakberdayaan kita kepada para pemimpin. Fakta bahwa pembebanan itu
di-sah-kan lewat prosedur pemilu tidak mengurangi statusnya sebagai pembebanan.
Cuma, karena dalam setiap harapan biasanya terlibat peng-lebih-lebih-an, pada
proses itu berlangsung gerak bawah sadar di mana kita mengangkat manusia
menjadi malaikat, atau sekurangnya manusia super. Ketika tahu sang pemimpin
juga manusia seperti kita, kita gusar dalam kekecewaan.
Mungkin ada baiknya kita menyimak lebih serius
fakta berikut. Cita-cita res publica tidak terjadi di ruang kosong, melainkan
berlangsung dalam hiruk-pikuk basic instincts kita, yang kinerjanya punya
implikasi begitu mendalam. Itulah pathos kekuasaan (pathos for power).
Kekuasaan
sebagai perangkap
ketika kita bicara soal kepemimpinan, biasanya
kita hanya berbicara "kekuasaan pemerintah". Pemerintah memang
merupakan badan yang, dalam gagasan demokrasi, bertugas mengelola res publica
yang bernama ’Indonesia’. Tetapi, dari itu juga tampak otoritas pemerintah
untuk mengelola Indonesia ada dalam pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain,
seperti para pemodal, agama, ilmu-teknologi. Artinya, dalam mengelola tata
Indonesia, pemerintah dikekang dan dimungkinkan oleh kinerja berbagai kekuasaan
lain. Oleh karena itu, argumen bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pemegang
riil kekuasaan dalam masyarakat Indonesia paling banter hanyalah argumen
"macan kertas". Klaim itu tidak ada dalam situasi empiris, dan lemah
secara konseptual.
Justru karena otoritas pemerintah dikekang dan
dimungkinkan oleh kinerja berbagai kekuasaan lain, muncul teka-teki. Kasus
BLBI, misalnya, berupa pola di mana pemerintah didikte oleh beberapa
konglomerat. Kasus Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
berisi pola di mana pemerintah dikendalikan beberapa kelompok agamis-sektarian.
Karena itu, ketika kita memakai istilah ’negara’, sebenarnya ia bukan pelaku,
melainkan arena yang diperebutkan, semacam ring tinju. Para
petinjunya ialah kita, berbagai kelompok dengan kinerja kekuasaan. Cita-cita hidup bersama bisa patah bukan
lantaran maksud buruk pejabat, melainkan karena mereka ditawan kelompok-kelompok
seperti pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.
Di satu pihak kita menginginkan kepemimpinan
yang andal untuk mengelola republik. Di lain pihak, tak ada satu pun pemimpin
republik yang tidak gagap, persis karena kinerjanya ada dalam pertarungan
berbagai sosok kekuasaan lain. Netralitas pemimpin adalah harapan kita, tetapi
juga suatu utopia. Persis dalam situasi inilah biasanya para bandit bisnis,
agama, dan militer malang-melintang bagi kepentingannya sendiri dan kelompoknya
Kondisi pingsan ’Indonesia’ bukan melulu karena
tiadanya pemimpin, tetapi karena kita sebagai warga gagal menghentikan
keganasan para bandit bisnis, agama, militer, dan lainnya. Lalu kita memaki dan
bermimpi tentang seorang (atau dua orang, atau berapa pun) "ratu
adil". Jika kita tidak sanggup, mengapa ia atau mereka kita andaikan
sanggup?
Dua pilar kepemimpinan
Pokok di atas hanya mau mengatakan, pemimpin itu orang
yang mesti mengoperasikan kepemimpinannya dalam hiruk-pikuk pertarungan
berbagai sosok kekuasaan yang tidak mudah diurai, yang simptomnya bisa kita
kenali dalam persoalan sehari-hari.
Berikut ini adalah beberapa pokok sederhana
yang mungkin berguna kita pakai untuk menggagas kualitas kepemimpinan republik.
Tidak akan diajukan usulan klisé bahwa agar kepemimpinannya berkualitas, para
pemimpin perlu pandai, energik, punya visi, tak membosankan, punya karakter,
berani, dan semacamnya. Seorang pelajar teladan juga mempunyai ciri-ciri itu.
Sekurangnya ada tiga pokok dasar yang perlu
kita cermati dalam rangka menemukan kepemimpinan republik:
1.
Intelektualitas
dalam arti luas
Apa yang dimaksud bukan soal jumlah/tingginya
gelar formal karena gelar dengan mudah bisa dibeli. Bukan pula soal kepandaian
formal. Yang dimaksud adalah keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan dalam
mendekati persoalan yang berdampak luas pada pembentukan dan perusakan ’Indonesia’.
Tentu, keluasan-kedalaman-kepekaan itu biasanya mengandaikan kadar tertentu
pendidikan formal, tetapi tidak setiap pendidikan formal membentuk kedalaman,
keluasan, dan kepekaan wawasan.
Pokok di atas mungkin terdengar sebagai
prasyarat menjadi intelektual- akademisi ketimbang pemimpin suatu republik.
Bukan itu maksudnya. Bukan pula mau menunjuk pada philosopher king. Seperti
akan tampak dalam dua pokok lain nanti, tanpa keluasan-kedalaman-kepekaan
sebagai insting, pemimpin republik akan ditandai
kedangkalan-kesempitan-kebebalan dalam mengenali kepentingan bersama yang mesti
ditemukan dalam simpang siur berbagai sosok kekuasaan.
Keluasan, kedalaman, kepekaan-dengan demikian juga
kesempitan, kedangkalan, dan kebebalan-para pemimpin pada gilirannya juga
tercermin dalam selera bahasa, isi pidato, corak kebijakan, dan sebagainya. Keluasan-kedalaman-kepekaan
para pemimpin juga punya kaitan erat dengan masalah sektarianisme dan
non-sektarianisme. Semakin sempit/dangkal wawasan, makin tinggi pula
probabilitas sektarianisme pemimpin republik.
Barangkali akan terkesan perkara
kedalaman-keluasan-kepekaan wawasan ini hanya menyangkut karakter pada diri
para pemimpin dan stafnya secara personal. Seperti akan kita lihat,
implikasinya begitu besar pada cara melihat/mendekati berbagai masalah bangsa
yang tak lagi bisa dipilah-pilah sebagai sekadar soal ekonomi, masalah hukum,
persoalan etnis, dan sebagainya.
2.
Kebijakan
publik
Suatu kebijakan disebut ’publik’ bukan terutama
karena diundangkan, bukan pula karena dilaksanakan umum, tetapi karena soalnya
menyangkut hidup bersama. Mengapa hidup bersama membutuhkan public policy?
Dalam refleksi para pemikir seperti Thomas Hobbes dan Adam Smith, misalnya,
kondisi asali kita berupa konflik tak berkesudahan antarindividu (manusia ialah
serigala bagi sesamanya). Inilah yang disebut "masalah Hobbesian tentang
tatanan". Jadi, di satu pihak, orang ingin berbuat sesukanya tanpa memikirkan
kebutuhan orang lain. Di lain pihak, hidup bersama hanya mungkin berdiri di
atas tatanan yang mengakomodasi kebutuhan banyak orang. Mengelola tegangan
keduanya merupakan raison d’être kebijakan publik.
Soalnya adalah, solusi atas tegangan ‘kondisi
Hobbesian’ dan ’cita-cita tatanan’ itu terperangkap dalam kinerja berbagai
sosok kekuasaan. Misalnya, bisa saja para pemimpin republik peduli atas banyak
buruh yang kena PHK. Tetapi, kepedulian itu terperangkap dalam tata globalisasi
yang corak utamanya berupa kemudahan tanpa kendali keluar masuknya modal di
tangan para tuan besar finansial.
Sebaliknya,
bisa saja seorang wali kota
begitu peduli investasi. Per definisi, ia akan membangun makin banyak mal,
bahkan bersemangat menggusur taman-taman kota
dan ruang-ruang publik. Akan tetapi, kepedulian itu tak bisa dilihat di luar
akal-sehat bahwa keberlanjutan hidup urban membutuhkan tata ekologi taman serta
ruang publik sebagai "jantung sehat".
Dari dua contoh itu mungkin segera kita kenali
bagaimana kebanyakan policy di Indonesia
dibuat. Dalam contoh pertama, kebijakan publik biasanya mengabaikan kondisi
buruh, sedangkan dalam contoh kedua kebijakan biasanya bernafsu menggusur
taman-taman, ruang-ruang publik, situs peninggalan sejarah untuk orgy shopping
di mal. Maka tidak heran bila kota
makin dibungkus polusi, anak-anak kota
tak lagi punya tempat bermain di alam, kita tak mampu belajar dari sejarah,
konsumerisme menggila; itu semua membiakkan kedangkalan kita. Pudarnya Res
Publica ’‘Indonesia’
memang tidak hanya disebabkan orgy kekerasan, tetapi juga orgy seduksi yang
seolah-olah dilakukan atas nama "hak asasi" dan "kebebasan
ekspresi" (misal konsumerisme, pamer kemewahan).
Kebijakan publik seperti itu tidak layak
disebut ’kebijakan’, apalagi disebut ’publik’. Ia tidak lebih dari pelaksanaan
kinerja perentangan kekuasaan para pemilik uang dalam kolusinya dengan para
pejabat. Rencana penggusuran Observatorium Bosscha (Lembang, Bandung) untuk pusat belanja adalah kasus
yang akan segera meledak.
Para
pemimpin republik diberi mandat untuk mengelola soal seperti itu. Senjatanya
adalah ’kebijakan publik’. Kebijakan publik merupakan tindakan legitim untuk
mengelola kinerja para pelaku dalam berbagai tegangan kekuasaan bagi tujuan
kesejahteraan bersama.
para pemimpin republik masih harus menjawab
pertanyaan: "Indonesia
seperti apa yang mau dibentuk?" Mengatakan "tentu saja, Indonesia yang
adil dan beradab!" Sama dengan mengatakan terlalu banyak dan sekaligus
terlalu sedikit. Pokok di bawah ini merupakan proposal kecil sebagai perangkat
untuk melihat sejauh mana berbagai visi dan cita-cita luhur tentang ’Indonesia’
Post a Comment for "MASA DEPAN INDONESIA ADA DI TANGAN PEMIMPIN"