Kamu..!!! Jangan Bercita-cita Jadi Perawat UGD



Literasiperawat.com ~ "Menjadi perawat UGD itu berat kamu tidak akan kuat biar aku saja" kata-kata yang di ilustrasikan dalam flm DILAN 90an itu pantas untuk di ucapkan oleh perawat yang bekerja di Ruang Unit Gawat Darurat (UGD), sebab:
  1. Menjadi perawat UGD dibutuhkan kecepatan berpikir, ketepatan bertindak, ketenangan dalam menjelaskan situasi pasien kepada keluarga, kemampuan berempati bila ada pasien yang meninggal dalam perawatan, selanjutnya kembali lagi pada kecepatan berpikiran dan ketepatan bertindak untuk menghadapi pasien selanjutnya dengan kasus yang berbeda. Begitu seterusnya sampai shift jaga berakhir. 
  2. Menjadi perawat UGD membutuhkan fisik yang kuat dan mental baja. Pasien datang tidak akan menunggu kita selesai makan, juga tidak peduli bila kita sedang mules menahan BAB.
  3. Menjadi perawat UGD seakan-akan kita harus mempunyai tombol dalam diri kita. Satu tombol membuat kita harus tegas dan agresif dalam menghadapi situasi darurat. Segera menentukan langkah-langkah terapi. Satu tombol membuat kita harus bersikap lembut dan mampu berempati pada keluarga pasien.
Pengalaman Bekerja di UGD

Pengalaman saya bekerja di UGD di salah satu Rumah Sakit di Kota Makassar, saya selalu merenungkan  kayaknya saya tidak cocok untuk pekerjaan ini. Menjadi perawat UGD merupakan tugas yang terlalu berat bagi saya, terlalu hardcore. Saya kesulitan mengatur perasaan saya bila ada pasien yang meninggal dalam perawatan saya.

Saya sering kehilangan ketegasan saat saya harus berhadapan dengan keluarga pasien yang menjadi emosi karena menganggap pelayanan di UGD tidak maksimal. Saya kesulitan tampil normal kembali untuk menghadapi pasien berikutnya setelah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Situasi di UGD bisa jadi sangat chaotic dan tidak terkontrol, menguras energi dan terkadang membuat saya ingin ikut terkapar lemas di samping pasien.

Tengah malam, pasien datang dalam kondisi tidak sadar, tidak responsif diantar oleh sekian banyak keluarganya. Sambil melakukan pertolongan pertama, menjaga jalan nafas pasien tetap terbuka, pasien tetap bernafas dengan lancar dan mengatur kondisi cairan tubuh pasien, saya berusaha menggali riwayat kesehatan pasien, berusaha mencari tahu penyebab tidak sadarnya pasien.

Masing-masing keluarga yang mengantar memberikan informasi yang berbeda-beda. Saya ambil intisarinya. Setelah saya mendapat gambaran tentang riwayat kesehatan pasien saya melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengonfirmasi informasi yang saya dapatkan ke dokter jaga. Sambil saya memeriksa, pasien henti nafas. Saya segera melakukan resusitasi terhadap pasien. Keluarga yang datang semakin banyak, memenuhi ruang UGD.

Sebagian sudah histeris mengelilingi pasien, sebagian berusaha menghalangi saya melakukan resusitasi karena mengira saya menyakiti pasien, perawat dan security berusaha menghalau keluarga pasien keluar agar saya bisa leluasa bekerja. Saya lakukan resusitasi sesuai protap tetapi pasien tidak bisa diselamatkan. Saya menyampaikan berita sedih ini kepada keluarga. Seketika itu juga jerit tangis pecah di seluruh UGD.

Saya tidak sempat berbelasungkawa dengan keluarga pasien karena sudah ada pasien kecelakaan yang datang.Pasien luka-luka di sekujur tubuhnya dengan kecurigaan patah tulang paha kirinya.

Setelah luka dibersihkan, saya menilai luka-lukanya hanya superficial,tidak perlu dijahit, tetapi kecurigaan saya tentang tulang pahanya harus dikonfirmasi ke dokter jaga. Sehingga dokter jaga sarankan pasien foto rontgen. Tiba-tiba lampu mati, keluarga gelisah menunggu genset dinyalakan. Setelah genset nyala, pasien difoto rontgen. Kecurigaan itu benar, tulang paha kiri pasien patah.

Saya sarankan pasien dirujuk ke spesialis orthopedi untuk penanganan lebih lanjut. Pasien dan keluarga menolak, mereka mau ke pengobatan tradisional yang katanya terkenal di kampung mereka.

Saya jelaskan risiko yang bisa terjadi bila pasien kondisi patah tulang tidak dirawat dengan benar. Pasien dan keluarga tetap kukuh dengan pendiriannya. Maka setelah menandatangani surat pernyataan menolak melanjutkan perawatan sesuai saran dokter, pasien di ijinkan pulang.

Saya baru mau pergi ambil minum, seorang ibu datang menggendong anaknya sambil menangis-nangis. Ia berteriak minta tolong sambil diikuti oleh beberapa keluarganya.

Anaknya demam tinggi 3 hari dan barusan saja kejang di rumah. Saat tiba di RS, pasien sudah tidak kejang. Dokter sarankan pasien dirawat inap untuk observasi lebih lanjut. Keluarga setuju, saat itu diberikan terapi sesuai protap, termasuk pemasangan infus. Tiba-tiba pasien kejang lagi, saya segera memberikan diazepam sesuai anjuran dokter lewat anus lalu menunggu kejangnya reda. Keluarga pasien marah-marah, mengatakan pasien kejang karena obat yang baru saja diberikan.

Keluarga merasa pelayanan di UGD tidak memuaskan dan menuntut pasien dirujuk ke RS yang lebih besar. Saya dan tik medis lainnya terpaksa menyetujui. Saya siapkan rujukan sesuai prosedur. Saya membuat surat rujukan, menelepon ke RS tujuan melaporkan akan merujuk, menyiapkan ambulans dan petugas medis yang akan mengantar. Selama proses tersebut, keluarga pasien terus mendesak agar rujukan dilakukan dengan segera.

Akhirnya semua persiapan selesai. Pasien bisa berangkat dirujuk. Saya bisa minum, terdengar suara adzan subuh.

Itu hanya salah satu pengalaman saya sebagai perawat UGD. Tidak selalu seperti itu, sih. Tetapi cukup sering terjadi! Saya yakin ini belum apa-apa dibandingkan dengan pengalaman sejawat-sejawat saya di RS yang lebih besar di kota besar dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan kasus yang lebih kompleks.

Saya jadi sering merasa lelah berkepanjangan padahal pagi harinya saya harus pergi ke kampus untuk kuliah, karena saat ini saya kerja sambil melanjutkan kuliah pasca sarjana (S2) di salah satu kampus yang ada di Makassar. Saya yakin jika saya menemui teman-teman kampus dan dosen dengan wajah yang kelihatan lelah kurang senyum, mereka pasti merasa tidak nyaman.

Makanya kamu jangan menjadi perawat UGD karena menjadi perawat di ruang unit Gawat Darurat (UGD) memang memiliki tantangan tersendiri. Selain harus selalu bertindak secara cepat dan tanggap  mental dan fisik yang kuat,  ada juga beberapa kompetensi yang harus kamu miliki seperti yang kutip dari www.perawat.com yaitu ;
Kemampuan anamnesa dengan cepat dan tepat
perawat yang berdinas di IGD wajib memiliki kemampuan anamnesa yang cepat dan tepat. Anamnesa merupakan langkah awal tindakan keperawatan yang menjadi arahan dan petunjuk untuk melakukan tindakan selanjutnya. Anamnesa yang cepat dan tepat tentu saja akan mengarahkan pasien untuk mendapat tindakan penanganan yang tepat sehingga nyawa pasien dapat terselamatkan. Anamnesa haruslah cepat dan tepat. Tidak bisa hanya cepat tetapi kurang tepat, atau sebaliknya, tepat tetapi kurang cepat. Karena hampir seluruh pasien di IGD merupakan pasien dengan kondisi gawat darurat yang membutuhkan bantuan dan penanganan sesegera mungkin. Salah satu jenis anamnesa yang harus dikuasai di luar kepala oleh perawat IGD adalah anamnesa berdasarkan ABC (Airway-Breathing-Circulation).

Untuk dapat melakukan anamnesa ABC ini biasanya perawat UGD dibekali pelatihan BLS (Basic Life Support) dan BCLS (Basic Cardiac Life Support) serta PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat).
Kemampuan menilai kesadaran pasien
Kemampuan menilai kesadaran pasien haruslah menjadi kemampuan yang mendarah daging saat menjadi perawat IGD, karena sebagian besar pasien yang masuk ke ruangan IGD merupakan pasien dengan kondisi gawat dan sering diikuti dengan gejala penurunan kesadaran. Salah satu cara menilai kesadaran pasien adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS merupakan skala yang digunakan untuk menentukan kesadaran seseorang ditinjau dari respon mata (eye), cara berbicara (verbal), dan gerakan tubuh (motion) atau lebih dikenal dengan singkatan EVM. Seorang pasien dikatakan memiliki kesadaran yang baik jika memiliki respon mata baik, respon verbal baik, dan respon gerak baik, GCS 4-5-6  dengan total skor/skala 15 ini juga bisa disebut kondisi composmentis.
Kemampuan melakukan tindakan penyelamatan nyawa
Tindakan penyelamatan nyawa ini meliputi terapi cairan pada pasien syok, pemasangan intubasi bersama dokter anestesi, pemasangan ventilator atau alat bantu nafas, RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan menggunakan defibrilator. Tindakan penyelamatan nyawa biasanya dilakukan berdasarkan analisis penyebab, apakah terdapat gangguan di jalan napas (airway), pernafasan (breathing) atau pada sirkulasi (circulation). Tindakan penyelamatan nyawa haruslah dilakukan dengan cekatan dan cepat, mengingat pasien yang berada di ruang IGD merupakan pasien gawat darurat yang keselamatan nyawanya bergantung pada ketepatan dan kecepatan tindakan.
Kemampuan untuk berkomunikasi secara efisien efektif
IGD merupakan ruangan yang sering crowded dan hampir semua pasien membutuhkan penanganan yang cepat. Oleh karena itu, perawat IGD dan tenaga medis lainnya dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi secara efisien dan efektif. IGD sangat berbeda karakteristiknya dengan ruang perawatan lainnya. Di ruangan lain, perawat mungkin masih bisa menjelaskan dengan santai setiap perkembangan pasien kepada rekan sejawat atau tim medis, tetapi di IGD hal tersebut sangatlah mustahil. Hampir tidak ada waktu untuk berbicara dengan santai. Setiap pembicaraan hampir selalu dilakukan berbarengan dengan melakukan tindakan penanganan pada pasien, hal inilah yang menyebabkan perawat IGD harus mampu melakukan komunikasi yang efektif dan efisien.

Bekerja di Unit Gawat Darurat (UGD) berarti siap-siap bekerja dengan segala tekanan yang ada. UGD adalah ruangan yang memiliki tekanan pekerjaan yang tinggi dibanding ruangan lainnya. Bukan hanya berhadapan dengan pasien yang beragam dan gawat, petugas kesehatan juga mesti berhadapan dengan keluarga pasien. Kedatangan pasien di UGD tidak bisa ditebak waktu dan jumlahnya, sehingga petugas UGD harus siap tiap saat.
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

1 comment for "Kamu..!!! Jangan Bercita-cita Jadi Perawat UGD"