Melawan Radikalisme dan Terorisme dengan Literasi


Oleh: A. W. Priatmojo
Penulis. Pegiat literasi. Aktif di Gerakan Menulis Buku Indonesia.

Film Zodiac (2007) garapan David Fincher, bercerita tentang teror pembunuhan berantai yang menyelimuti San Fransisco pada akhir 60-an dan awal tahun 70-an. Seorang pembunuh itu, yang menjuluki dirinya dengan nama “Zodiac”, mengirimkan surat-surat ke tiga kantor berita di San Fransisco. Surat-surat tersebut berisi tentang klaim pembunuhan, rencana pembunuhan, dan permintaan untuk mempublikasikan surat-suratnya itu. Bahkan dalam salah satu suratnya, “Zodiac“ mengancam untuk melakukan pembunuhan kembali jika surat itu tidak dipublikasikan. Dari sini jelas, si pembunuh ingin agar teror ini dapat diketahui lebih banyak orang.

Pada suatu adegan ketika “Zodiac” mengirim surat yang berisi tentang rencana pembunuhan terhadap anak-anak sekolah, ada satu hal yang dapat kita jadikan pelajaran dari film ini dalam menghadapi teror. Pimpinan San Fransisco Chronicle, salah satu kantor berita, ketika itu memutuskan untuk mempublikasikan surat tersebut namun menghilangkan bagian yang berisi tentang ancaman pembunuhan anak-anak sekolah.

“Kita tidak ingin membuat seluruh kota panik, jadi saya meminta kalian semua untuk menjaga rahasia.” Begitu yang dikatakannya kepada seluruh karyawan kantor berita itu. Ia sadar jika rencana pembunuhan itu dipublikasikan, seluruh orang tua di kota tersebut akan panik karena khawatir terhadap anak-anaknya. Maka ia memutuskan untuk merahasiakannya dari warga kota, dan menyampaikannya ke pihak kepolisian. Pada akhirnya, syukurlah ancaman itu tidak terbukti.

Menimbulkan kepanikan dan ketakutan massal adalah salah satu alasan penting aksi teror digencarkan. Maka, cara untuk melawan terorisme, adalah tidak ikut menyebar foto-foto korban teror atau kabar-kabar hoax tentang ancaman teror, dan menjalani hidup dengan normal. Kita serahkan penanganan pada pemerintah dan aparat yang berwenang.

Literasi Adalah Senjata

Lantas, di tengah kegeraman kita pada pelaku teror seperti ini, apakah kita hanya akan berdiam diri? Apa yang bisa kita lakukan selain mengutuk pelaku teror dan mendukung kinerja aparat? Tentu banyak. Salah satunya, dalam berkegiatan di media sosial.

“Kaum Zelot pada abad pertama Masehi,” tulis Aaron M. Hoffman dalam laporan penelitiannya, “Voice and silence: Why groups take credit” (2010), "melakukan serangan di keramaian siang hari guna menarik perhatian publik semaksimal mungkin. Pada abad 19, teroris anarkis memanfaatkan poster untuk tujuan yang sama, sebelum akhirnya hari ini media sosial digunakan untuk mempropagandakan pesan seluas-luasnya.”

Cepat tersebarnya berita-berita hoax di media sosial saat ini, adalah karena budaya literasi yang rendah di masyarakat kita. Masyarakat dengan budaya literasi yang baik tentu tidak akan mudah percaya dengan berita bohong atau isu-isu yang dapat menyulut perpecahan, konflik, bahkan berpotensi melahirkan teror dan kekerasan. Masyarakat dengan literasi baik akan menganalisis setiap kabar atau berita, dan mencari dari sumber-sumber lain yang terpercaya.

Benedicta Dian Ariska Candra Sari dalam jurnalnya “Media Literasi dalam Kontra Propaganda Radikalisme dan Terorisme Melalui Media Internet” (2017) menyatakan bahwa “Internet adalah senjata terkuat untuk menyebarkan ideologi, yang menjadi alat bagi teroris.”

Maka di sisi lain, saya rasa literasi dapat menjadi senjata yang penting untuk melawan balik tulisan-tulisan di media sosial yang mengandung radikalisme, berbau kekerasan, dan isu-isu yang berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan itu. Dengan budaya literasi yang baik akan muncul masyarakat yang menghasilkan tulisan-tulisan positif, sejuk, jauh dari hal-hal berbau kekerasan atau memecahbelah.

Pengamat terorisme UI, Ridwan Habib dalam sebuah wawancara menyampaikan, “Pelaku teror tidak hanya bekerja di lapangan, tapi juga menyerang melalui media sosial. Mereka memelintir isu-isu hingga membuat masyarakat terpecah belah.”
Ridwan mengambil contoh kasus terorisme di Marawi, Filipina. Dulu, keadaan di Marawi damai. Tapi ketika muncul isu-isu tentang khilafah dan daulah, masyarakat mulai terpecah. Setelah itu masuklah pasukan bersenjata dan bahkan mampu menguasai Marawi beberapa bulan.

Lebih lanjut, Benedicta Dian Ariska Candra Sari dalam jurnalnya menyampaikan bahwa berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPT, terdapat beberapa kasus yang memperlihatkan pengaruh media internet terhadap pembentukan pemikiran radikal seseorang hingga menghasilkan aksi terorisme. Salah satu contohnya, Muhammad Alfian Nurzi yang berasal dari Kalimantan dan Asyahnaz yang berasal dari Kabupaten Bandung. Sebelum berangkat Ke Suriah, mereka kerap menggunakan media online khususnya media sosial dalam berkomunikasi dengan kelompok ISIS.

Dengan masuknya paham radikalisme dan terorisme yang menyerang melalui media sosial, sudah sepatutnya kita ikut melawan balik dengan tulisan-tulisan yang positif, bukannya malah ikut membagikan kabar-kabar hoax, atau ikut berdebat hingga membuat masyarakat terpecah belah. Lalu apa langkah nyatanya? Pemerintah melalui BNPT maupun Kemendikbud, misalnya, juga bisa melakukan program deradikalisasi melalui bidang literasi ini. Masyarakat perlu dididik literasinya dengan baik agar lebih cerdas dan bijak dalam menggunakan internet. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita hanya menyerahkan begitu saja pada pemerintah? Tentu tidak. Pencegahan radikalisme dan terorisme adalah kerja semesta.

Masyarakat juga bisa ikut berperan dalam melawan terorisme terutama melalui media sosial. Selain kita bisa membantu pemerintah dengan melaporkan situs dan akun penyebar kabar hoax atau dianggap berpotensi memecah belah masyarakat, kita bisa juga mengirimkan tulisan-tulisan positif untuk melawan balik tulisan-tulisan yang berpotensi memecah belah itu. Diharapkan tulisan-tulisan positif itu akan lebih tinggi secara kualitas dan kuantitas sehingga dapat menghancurkan tulisan-tulisan yang berbau kekerasan.

Kemudian, saya teringat kembali satu adegan dalam film Zodiac ketika Robert Graysmith seorang kartunis dari San Fransisco Chronicle memutuskan untuk melakukan investigasi sendiri setelah kepolisian belum menemui titik terang dan menghentikan penyelidikan. Istrinya bertanya, “Mengapa kau melakukan ini?”

Graysmith hanya menjawab, “Karena tidak ada orang lain.”

Sampai di sini saya tersadar, tidak seperti Graysmith, kita tidak sendiri. Seluruh masyarakat Indonesia masih bisa bersatu, bersama-sama melawan terorisme.
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Melawan Radikalisme dan Terorisme dengan Literasi"