Perawat Bukan Malaikat

Foto : bersama PPNI Arab Saudi di Madinah tahun lalu.

Literasi Perawat ~ Saat di Spanyol, saya bertemu pengemis wanita dengan keranjang berisi recehan euro. FYI saat itu 1 euro setara 15ribu rupiah. Anggaplah ada 30 euro, berarti ada 450ribu rupiah, padahal masih pagi.

Dengan kulit putih semu merah, hidung mancung, tubuh kurus semampai, rambut pirang khas bule. Mirip dengan Manuela Villareal, anak kedua Shopia Latjuba.

Di Paris, ada laki-laki yang menyebelahi langkah saya. Awalnya ngomong Bahasa Perancis. Saya bilang tak mengerti apa maksudnya. Lalu dengan santai bilang, “euro for eat.” Oallah, minta uang to.

Kaget juga, padahal tampang Brad Pitt. Badan segar bugar, bisalah kerja parttime. Atau minimal tidak nodong pendatang kere macam saya.

Apa karena mereka tidak di Indonesia? Yang meski tak digaji pun tetap akan bekerja? Semacam perawat-perawat magang di rumah sakit terkemuka.

Saya tak henti mengelus dada, kemarin, ratusan tenaga medis dari Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan sukarela dari Kabupaten Lombok Tengah berdemo. Masih dengan tuntutan sama selama seabad, kesejahteraan.

Konon, banyak yang tak digaji, kalaupun dapat, sangat tak mencukupi, 200ribu sebulan. Dengan pekerjaan tidak mudah dan penuh risiko. Miris pula, hampir keseluruhan belum mendapat jaminan kesehatan. Perawat honorer yang gajinya horor.

Salah satu teman dari Nusa Tenggara bahkan berkisah, “Dulu, kadang sebulan dapat 50ribu, udah alhamdulillah. Eh, ada pasien ga bisa bayar obat. Nangis-nangis minta tolong. Akhirnya kita patungan, beliin obat pasien, atau bayar biaya inapnya. Begitu hampir tiap bulan. Kita bisa apa?”

Demi kemanusiaan, iya, demi menolong sesama, gaji tak seberapa itu lenyap dalam hitungan detak jam.

“Keselamatan pasien nomer satu. Perawat puasa satu minggu, haha,” sergahnya kemudian. Sambil tertawa tertahan. Saya, nyeri di ulu hati.

Perawat itu sebenarnya apa? Haruskah menjadi pengemis seperti yang saya temui di Spanyol dan Perancis? Nyatanya mereka lebih berpenghasilan, kan?

17 Maret lalu, PPNI merayakan ulang tahun ke 43, gegap gempita di pelosok negeri. Jalan sehat, senam bersama, hingga selfie. Iya, meski gaji entah apa kabarnya, yang penting di depan kamera (dan pasien) nampak happy.

Teman, tolong, jangan sudutkan mereka yang berjuang mati-matian di jalur ini. Ya perawat, ya jual kaos kiloan. Ya perawat, ya buka olshop coklat. Ya perawat, ya terima order jahitan. Macam saya yang nulis buat gali perbukitan. Hah.

Saya yakin, kita mencintai profesi ini sepenuh hati, tapi kenyataan terkadang tak sesuai ekspektasi. Jadi percayalah, dengan mencari sampingan atau alih spesialisasi sekalipun, tidak lantas menjadi pengkhianat sumpah profesi.

Come on, Dude! Kita perawat, bukan malaikat. 

Bagaimanapun, tetap manusia yang butuh makan, pulsa, paket data, parfum, sepatu pantofel, baju layak pakai untuk bertemu calon mertua, sampai boyong dia ke KUA.

Hanya butuh pemasukan jelas mata untuk ditunjukkan pada orang tua. Bisa mandiri dan tidak minta-minta. Meski wanita dan STR belum jelas juntrungannya.

Perawat juga manusia biasa yang bisa sakit, pusing, diare, demam, galau dan butuh perhatian. Kaya kamu~~

Kedua pengemis tadi pula yang membuat saya mengerti, bahwa bisa jadi bukan nasib yang membelenggu, tapi tempat yang kurang pas untuk mengepak sayap putih itu.

Kalau saja mereka berdua datang ke Indonesia, bikin akun IG, jadi selebgram. Masuk tipi, diudang Hitam Putih, diajak main pilm Hanung Bramantyo. Hidup enak. Tenar. Viral.

Seperti Ayana Jihye Moon. Muallaf cantik asal Korea yang menghiasi layar kaca. Ayana juga bukan siapa-siapa loh di Korea, tapi laris manis di Indonesia.

Lega itu ketika tahu, sudah banyak yang berani mengambil keputusan. Datang ke negara-negara orang demi mencari peruntungan. Arab Saudi, Kuwait, Jepang dan Singapura yang masih dan akan terus membutuhkan perawat berani dan tidak mutungan.

Kelemahan setiap negara tetap ada. Perbedaan pasti menghantui. Culture shock jangan ditanya. Tapi bukankah di situ tantangannya?

Dari para perawat hijrah itu, saya mengerti, memberdaya di negara orang adalah langkah untuk tidak menjadi pengemis di negeri sendiri.

“Itu dulu waktu jadi perawat honorer di Indonesia. Sekarang Alhamdulillah. Di Arab Saudi, bisa ngirim uang buat orang tua. Bayar sekolah adek. Umroh dan haji,” pungkasnya sebelum menutup obrolan hari itu.

Kalau rezeki Ayana di Indonesia, mungkinkah rezekimu di Korea?

Penulis : Violeta, Pegiat Literasi Perawat
22 Maret 2018
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Perawat Bukan Malaikat"