"Matilah... Pasienku Pertama Homecare Ternyata"



Literasi Perawat ~ Aku baru menyadari, ternyata mayoritas mahasiswa perawat itu dari kalangan tingkat perekonomian menengah ke bawah. Itu terbukti saat skripsi saja, sering kesulitan buat bayar ongkos foto copy. Banyak teman-teman yang kadang mengalami kesulitan untuk bayar kos-kosan, makan, hingga wisuda. Aku sendiri, ijazahku sempat tersendat tidak bisa aku ambil karena belum bayar lunas administrasi kampus.

Aslinya berasal dari Madura. Aku kuliah di Jombang. Lulus tahun 2016, profesi. Jujur, aku belum goal di Ukom. Jadi, harus ngulang tahun ini. Aku jalani dengan ikhlas liku-likunya. Tetapi hidupku, harus jalan terus.
Itulah prinsipku.

Makanya, saat masih praktik terakhir, di Obsgyn, tinggal satu minggu, aku nekad, kerja, demi uang. Aku ambil tawaran homecare. Imbalan gajinya lumayan gede. Enam juta Rupiah, di Jakarta.

“Wah, upah ini bisa aku gunakan untuk bayar ke kampus guna ambil ijazah!” Demikian fikirku. Aku pun berangkat dengan tekad bulat.
Pekerjaan ini lumayan berat, buat pemula sepertiku, harus siap aku jalani.

Gila!!! Pasien pertamaku post operasi kraniotomi. Mana pula ini pengalaman homecare pertama. Terasa berat banget. Seharian harus melayani pasien, 24 jam. Aku harus berada di sisi pasien setiap saat. Kalau malam tidur kadang belum sampai 30 menit, sudah dipanggil lagi. Itu memang risiko homecare nurse.

Tidak perlu aku ceritakan bagaimana kisah 30 hari pertama homecare ini.

Alhamdulillah, rasa lelah ternyata bisa hilang begitu terima honor Rp 6 juta, yang bisa aku gunakan untuk melunasi hutang di kampus dan mendapatkan ijazah.

Homecare adalah dunia kerja pertamaku. Aku geluti karena aku belum memiliki opsi lainnya. Dari satu pasien ke pasien lainnya. Aku sempat bikin komunitasnya dengan harapan membantu teman-teman yang berburu peluang di homecare. Alhamdulillah jalan.

Namun sungguh, ini tidak mudah. Homecare bukan hanya KDM. Lebih dari itu, menggeluti dunia homecare harus siap dengan berbagai kemungkinannya. Siap fisik, stamina, mental dan konsekuensi sosial. Jangan tenkuni homecare hanya dengan iming-iming gaji gede. Misalnya dimarahi keluarga, pasien yang sangat cerewet, keluarga yang sok, uring-uringan tanpa alasan yang jelas, ngantuk yang berat, makan tidak selera, hingga sakit tapi harus tetap bekerja. Itu hanya sekilas. Aku pernah gak betah kerja. Mampu bertahan hanya seminggu. Aku bukan malaikat……

Betapapun dibayar Rp 6 juta misalnya, tetapi teman-teman harus tahu. Itu 24 jam. Jika dibagi 3 shift, berarti per shift bayarannya Rp 2 juta. Per bulan 2 juta untuk seorang sarjana, di Jakarta, itu bukan apa-apa. Jadi, nilai homecare pun sebenarnya tidak terlalu tinggi. Yang besar dibayar dibayar itu: yayasannya.

Entahlah….yang pasti aku ingin berubah. Aku ingin mengenyam bagaimana rasanya kerja di luar negeri. Aku juga ingin kuliah lagi. Saat ini aku sedang belajar untuk ikut Ukom jilid dua. Semoga saja lulus. Sesudah itu aku akan pertajam bahasa Inggris, kemudian urus passport. Aku ingin bangun bisnis tanpa banyak birokrasi. Aku ingin punya Haircut Saloon for Gents yang dibayar tidak semabarangan. Aku juga pingin punya bisnis sambilan Sembako yang dikelola perawat.

Homecare memang sepertinya bagus sebagai batu loncatan awal bagi pemula. Tetapi teman-teman tidak boleh meremehkan. Homecare tidak mudah. Perlu banyak belajar. Di homecare, kita banyak menemui hal-hal baru yang tidak ada di bangku kuliah. Homecare bukan hanya persoalan besarnya Rupiah. Jika tidak kuat, jangan coba-coba dekat. Homecare juga persoalan nyawa manusia. 

Kediri, 18 March 2018

Awan, seperti yang dikisahkan kepada:
SYAIFOEL HARDY
WA 081336691813
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for ""Matilah... Pasienku Pertama Homecare Ternyata""